01 | Dugaan

622 42 10
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

01 | Dugaan

“Dia diikutin orang! Itu masalahnya.”

Denver tersedak. Air minum yang mampir ke tenggorokannya melesak naik ke hidung. Matanya perih dan sedikit berair. Tidak lama, Divo datang dengan celemek melingkar di tubuh tingginya. Ayah memasang ekspresi khawatir.

Dengan sisa kewarasan yang ada, Denver mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Cowok itu beralih menatap ponsel, masih terhubung.

“Sekali ini aja, bantuin aku.” Napas Runa terdengar tersengal-sengal di seberang telepon. “Aku juga lagi lari ke sekolah, tapi jaraknya lumayan jauh dari rumahku.”

Satu helaan napas lolos. Denver terburu-buru menaiki undakan tangga menuju kamarnya. Tidak tahu harus melakukan apa, permintaan Runa membuat kepalanya pusing.

“Sebentar, kenapa harus aku yang nyamperin cewek itu? Apa hubungannya sama aku?”

“Itu ... entahlah, pokoknya aku cuma kepikiran kamu.” Ada jeda, napas Runa terdengar tidak beraturan. Dalam satu tarikan napas, Runa berkata, “Untuk seseorang yang jago beladiri, kenapa aku nggak hubungin kamu, Denver?”

Masuk akal.

Denver mondar-mandir di dekat jendela, gusar sendiri. Yang menjadi masalah, ia tidak mengenal Zetta. Lalu kalau Denver tiba-tiba muncul, ia pasti dianggap orang aneh. Tiba-tiba datang tanpa diminta. Mereka bahkan hanya sesekali berpapasan di koridor. Tidak saling mengenal.

Hanya Runa sudah berteman akrab dengan Zetta sejak awal kelas sebelas. Herannya, Runa bisa tahan dengan sikap dingin Zetta.

“Denver,” sentak Runa, membuyarkan lamunan cowok itu. “Ngomong dong!”

“Iya, iya. Aku pergi sekarang. Baik-baik di sana, jangan gegabah sebelum aku dateng.”

“Oke … makasih.”

Telepon terputus.

Denver tidak bisa menolak lagi. Ada satu orang yang membutuhkan bantuannya, satu orang lagi dalam bahaya, menurut Runa. Denver menyambar jaket putih setelah memakai parfum di sekitaran leher dan area pergelangan tangan. Tidak sempat bercermin dan membiarkan rambutnya acak-acakan, hanya disapu dengan jari.

Menuruni tangga dengan dua undakan sekaligus, nyaris terjerembap kalau ia tidak segera melompat ke lantai paling bawah rumahnya. Hal itu sampai tertangkap mata Divo, ayahnya.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang