" Balas dendam memang tidak meyelesaikan masalah, tetapi dengan diam bukan berarti kita kalah."
Bel pulang sekolah berbunyi semua siswa berhamburan keluar kelas, termasuk Gevan dan juga sahabatnya yang baru keluar dari basecamp mereka. Ya, mereka bolos masal, dari yang kelas sepuluh sampai kelas dua belas pun mereka sama-sama bolos untuk membicarakan tentang penyerangan yang akan mereka lakukan malam nanti.
"Dan gue nebeng sama lo, kita langsung ke markas!" ucap Gevan.
"Siap Van," jawab Zidan.
Akhirnya Gevan dan Zidan pun berangkat bareng dengan Gevan yang membawa motornya. Tetapi saat melewati gerbang ia melihat seorang gadis yang sepertinya ia kenal. Gevan meberhentikan motornya di samping gadis tersebut.
"Heh Ana nungguin siapa lo?" tanya Gevan.
Panggilan Gevan barusan tak dihiraukan oleh Ulfa. Pasalnya sudah sejak lama setelah orang tuanya meninggal tak ada yang memanggilnya dengan sebutan Ana meski Faza sekalipun.
Melihat lawan bicaranya yang hanya mematung membuat Gevan geram, lalu ia menepuk pundak Ulfa.
"Heh ditanya malah bengong lo," ucap Gevan.
Ulfa yang baru saja tersadar pun dengan cepat menjawab.
"Jangan manggil gue Ana dan jangan ikut campur urusan gue," balas Ulfa tegas.
"Ye mau ditolongin juga, udah cepetan naik!" perintah Gevan.
"Turun lo Dan!" sambungya.
Zidan terpaksa turun sambil ngedumel.
"Ye si kampret itu motor gue nyet, kalau lo lupa. Sekarang malah disuruh turun juga, urusan cewek aja terdepan!" ucap Zidan, gak nyadar apa dirinya juga sama urusan cewek nomer satu, malah ceweknya Zidan lebih dari satu.
"Diem deh lu, gak ngaca kelakuan lo sama cewek kaya gimana? Nebeng aja sama anak-anak," jawab Gevan.
"Awas aja lo Van, mentang-mentang lagi pdkt, sahabat sendiri di lupain," ucap Zidan sambil melenggang pergi meninggalkan mereka.
Jadi tinggalah mereka berdua, keadaan sekolah memang cukup sepi karena sebagian murid sudah pada pulang, yang masih ada mungkin anak-anak organisasi.
"Dah cepetan naik!" perintah Gevan sembari menarik tangan Ulfa.
"Enggak mau! Gue gak percaya sama cowok modelan kayak lo, entar gue di bawa kemana-mana lagi, lagian kakak gue juga sebentar lagi mau jemput," jawab Ulfa sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Gevan.
"Ikut enggak!" teriak Gevan.
"Enggak!" Ulfa tak kalah berteriak.
"Ikut!"
"Enggak! Gue bilang enggak ya enggak!"
"Ikut Ana!"
"Enggak, dan jangan panggil gue Ana, nama gue itu Ulfa!" jawabnya sembari menekan kata Ulfa
"Kenapa gue gak boleh manggil lo Ana, nama lo kan Zulfana. Sekalian kalau manggil lo Ana gue serasa manggil diri gue sendiri, Ana kan artinya saya," ucap Gevan.
"Pokoknya gak boleh!" balas Ulfa tetap kekeh, karena ia tidak mau lagi membuka luka lama. Panggilan itu akan mengingatkannya lagi pada kedua orang tuanya, dan itu membuat hatinya sakit.
"Iya kenapa?" tanya Gevan.
"Karena---" ucapan Ulfa terpotong saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dan ternyata itu panggilan dari Faza, kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEVAN
Teen Fiction"Kesalah pahaman yang berujung penyesalan" **** Ketua geng motor biasanya dominan dengan pemimpin yang dingin dan jarang bicara. Namun berbeda dengan seorang Gevan Radithya Pranadipa seorang leader dengan segal...