"Setitik harapan akan datang pada mereka yang punya keyakinan, dan sedalam apapun luka akan ada kata maaf dari mereka yang punya hati lapang."
Setelah memerima pesan masuk dari nomer asing itu akhirnya Faza segera melesat pergi ke alamat yang tertera di dalam pesan. Faza mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi mebelah jalanan ibu kota tak peduli dengan jalanan licin dan pandagan yang tidak terlalu jelas karena diguyur hujan. Emosi sudah mendominasi akal dan pikiran-nya, tangan kirinya kini terkepal kuat melampiaskan amarah yang mulai membuncah. Derasnya air hujan seakan tidak bisa meredam sedikit pun emosi nya
"Akhh Bangsat!" umpatnya sambil menarik pedal gas nya semakin kuat.
Semakin dekat dengan lokasi sang adik dia semakin menajamkan pandangannya, hingga motornya melesat dengan cepat melintasi jalur berlawanan mengagetkan kendaraan yang ada di depannya yang otomatis berhenti mendadak.
Yang dilakukan Faza barusan memang terbilang nekat, bukan hanya membayakan dirinya sendiri itu juga bisa membuat adiknya celaka.
Gevan dan Ulfa yang masih syok masih anteng duduk di atas motor, hingga tak lama dengan gerakan kasar Faza menariknya untuk turun, lalu tanpa babibu lagi satu bogeman mentah sudah mendarat di pipi Gevan. Seakan tak memberi jeda pada Gevan untuk melawan, Faza dengan gesit memukulnya bertubi-tubi tanpa menghiraukan teriakan adiknya yang sudah menyuruh ia untuk berhenti.
"Bajingan lo masih berani-beraninya deketin adek gue!" umpatnya dengan napas terengah-engah.
"Mau apa lagi? Gak cukup ngancurin keluarga gue, dan sekarang mau ambil adik gue satu-satunya Hah!" seakan tak memberikan jeda Faza masih terus memukuli Gevan tak memberikan celah bagi Gevan untuk melawan.
Melihat kakaknya yang semakin tak terkendali sekuat tenaga gadis itu berusaha menariknya, menjauhkannya dari Gevan. Dan kini ia sudah menjadi pemisah berada di tengah-tengah mereka berdua.
Tak mendapat serangan lagi dari Faza, Gevan mengusap darah yang mengalir dari hidung dan juga sudut bibirnya. Ia melihat pundak kecil gadis yang ia sayang sedang berdiri tegak membelakanginya.
"Apa-apaan sih ka? Apa yang terjadi? Apa semua masalah dimata kalian itu bisa selesai dengan cara berantem seperti ini? Enggak kan!" teriaknya.
Tak menggubris ucapan adiknya Faza malah menarik Ulfa, menyembunyikan gadis itu dibelakang tubuhnya. Faza merogoh saku celananya mengeluarkan handphone dan menunjukkan sebuah foto yang membuat Gevan semakin dibuat bungkam ditempatnya.
"Sekarang mau ngelak apa lagi lo! Gue bilang dari kemarin juga apa, JANGAN DEKETIN ADEK GUE! Karena sampai kapan pun lo gak bisa bahagiain dia, dengan seperti ini lo malah buat dia makin sakit tahu gak! BANGSAT!" teriak Faza semakin kalut.
Ia kembali menarik kerah baju Gevan, menatap pemuda itu dengan nyalang. "Lo mau balas dendam sama gue, Hah! Pukul gue sekarang! Belum puas dengan apa yang udah bokap lo lakuin dan sekarang lo mau sakitin adek gue lagi, Iyaa?! JAWAB!"
Sebuah tarikan lembut dari belakang menyadarkan Faza, dengan segera ia membalikan tubuhnya.
"Apa yang terjadi Bang? Beritahu aku!" ucapnya penuh penekanan dan dengan cepat tangannya meraih handphone Faza melihat apa yang membuat kekacauan ini semua.
Gadis itu bergeming ditempatnya, matanya berkaca-kaca masih tak mempercayai semua hingga perlahan buliran bening itu menetes membasahi pipinya. "Apa maksudnya ini Bang? Ini gak bener kan?" tanyanya sembari terisak.
Dengan sigap Faza menarik Ulfa membawa gadis itu ke dalam dekapannya, ia memeluk adiknya erat menyalurkan rasa sakit yang adiknya rasakan. "Bokap si bajingan itu sudah bekerja sama dengan para mafia bajingan, melakukan jual beli organ bahkan bisa saja manusia," ucap Faza tanpa melepaskan pelukannya.
Mendengar apa yang baru saja Faza sebutkan sontak Gevan tidak terima, ayahnya tidak sejahat itu, ia juga bahkan sama-sama ditipu. "Enggak Ana! Itu semua gak bener, aku bisa jelasin semuanya. Daddy aku memang berada disana, tapi dia juga sama-sama ditipu, dia gak tahu kalau mereka sidikat mafia. Dan Daddy aku gak pernah terlibat ke dalam pasar gelap seperti itu. Kita sama-sama korban, makanya dia tidak dipenjara karena statusnya korban bukan tersangka."
Setelah mendengar penjelasan Gevan, gadis itu perlahan melepaskan pelukannya dari sang kaka. Ia berjalan pelan menghampiri Gevan dan menatap pemuda itu nyalang.
"Plak!"
Satu tamparan keras menghantam pipi Gevan. Rasa panas menjalar di pipinya namun itu tidak sebanding dengan sesak di dadanya yang terasa terhimpit bongkahan batu besar, bahkan banyaknya bogeman yang Faza berikan tidak sesakit ini efeknya.
"Puas lo udah hancurin semuanya! Kenapa dari awal gue malah percaya sama lo sih kak bukan Abang gue sendiri! Jika tahu kejadiannya akan seperti ini gue gak akan buka hati buat lo dan mungkin efeknya gak akan sesakit ini!" teriak Ulfa sambil memukul dada Gevan berkali-kali, melampiaskan seluruh amarahnya.
"Bokap gue rela bertaruh nyawa untuk melindungi bangsanya sendiri, tapi kenapa? Kenapa bokap lo malah ngebantu para manusia iblis itu buat hancurin negeri lo sendiri! Lo dan keluarga lo itu gak tahu terima kasih tahu gak? Pernah gak sih lo berpikir dimana lo dilahirkan? Dimana lo aman tanpa adanya peperangan. Seberapa besar kenyamanan yang kita dapatkan saat berpijak di bumi pertiwi ini. Dan itu semua merupakan campur tangan dari mereka yang berjuang dan selalu sigap di garda terdepan hingga lupa untuk pulang dan rela jauh dari orang tersayang hanya untuk menjaga keamanan semua orang!" teriak Faza frustrasi.
"Disaat gue harus menjadi Ayah dan Ibu bagi adik gue satu-satunya, dan disaat anak berusia tujuh tahun yang berusaha dewasa sebelum waktunya karena harus menguatkan adik kecilnya yang bahkan sering sakit-sakitan dan trauma sejak kecil. Dimana hati nurani lo? Dan sekarang lagi-lagi lo nyakitin dia, punya otak gak sih lo?" sambungnya sambil menahan buliran bening yang siap meluncur.
"Gue yang susah payah bikin dia bisa senyum dan lupain masa lalunya, tapi elo dengan mudahnya nyakitin dia tanpa tahu bagaimana jatuh bangunnya gue dalam melakukan itu," lirihnya.
Mendengar ucapan Faza seakan menariknya kembali ke masa dimana ia kehilangan kedua orang tuanya. Kaki Ulfa terasa seperti jelly, ia sudah tak mampu berdiri tegak, tubuhnya hampir ambruk jika saja Gevan dan Faza tidak cekatan menopangnya. Ia memukul dadanya berkali-kali, meraup oksigen sebanyak-banyaknya tapi masih tak mampu menghilangkan sesak yang seakan menghimpit dadanya.
Faza dengan cekatan membawa Ulfa kedalam dekapannya, mengambil sebuah inhaler kecil dari dalam saku celananya dan memberikan itu pada adiknya. Sejak tahu adiknya menderita asma tak pernah sekalipun ia absen membawa inhaler itu kemana pun ia pergi.
"Tenang dek, kamu tarik napas dengan benar ya sayang!" ucapnya lembut sambil menghapus bulir-bulir keringat bercampur air mata yang membasahi wajah adiknya.
Gevan yang tak kalah khawatir pun tak tinggal diam dia mengusap lembut surai gadis itu. "Ana kamu tenang ya! jangan kayak gini, jangan buat kita semua khawatir lagi. Aku minta maaf Ana, aku mohon kamu harus kuat, gak boleh kaya gini," ucapnya yang sudah terduduk lesu.
Satu orang gadis special yang bisa membuat dua orang ketua geng besar, dibuat rapuh olehnya.
Rintik hujan masih perlahan turun membuat kesedihan dua orang pemuda itu semakin lengkap. Hingga perlahan mata gadis itu mulai tertutup bersamaan dengan rintik hujan yang kian menderas, melihat itu Faza berteriak histeris memanggil-manggil nama sang adik.
Bersambung......
Haii, untuk pembaca lama maupun pembaca baru, kaliam bisa baca ulang prolognya ya, karena emang udah rencana aku mau ubah sedikit alurnya.
Bye, selamat membaca dan semoga kalian semua menikmati bacaannya.
Tapi maaf kalau misalkan feel-nya belum dapet ya heheBismillah
Jangan lupa voment
Ig:@liska_nuramelia
KAMU SEDANG MEMBACA
GEVAN
Teen Fiction"Kesalah pahaman yang berujung penyesalan" **** Ketua geng motor biasanya dominan dengan pemimpin yang dingin dan jarang bicara. Namun berbeda dengan seorang Gevan Radithya Pranadipa seorang leader dengan segal...