"Kesalahan yang membuat ku kehilangan kesempatan."
Seorang anak perempuan terduduk di atas kursi dengan tangan dan kaki terikat. Sudah dua hari dirinya di kurung di dalam ruangan yang pengap dan minim cahaya. Anak itu menyenderkan tubuhnya pada sandaran kursi, lalu memejamkan mata pelan. Ia takut juga lelah, dari kemarin tidak henti-hentinya menangis.
Suara knop pintu mengalihkan atensi anak itu.Ia melihat seseorang berpakaian serba hitan tak lupa juga dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya, membuat tubuh anak berusia sekitar enam tahun itu menegang, takut jika orang itu akan memukulnya seperti orang yang telah menculiknya.
"Sssstttt," bisiknya sambil menaruh telunjuk di bibir anak itu. Menatapnya lekat, lalu mengusap lembut rambut hitam putrinya. "Ini Ayah!" bisiknya sambil menarik bocah itu masuk ke dalam pelukannya.
Mendengar suara seseorang yang sangat ia kenal, sontak membuat anak itu mengeratkan pelukannya pada sang Ayah. "Ana takut Ayah, bawa Ana pulang, Ana gak mau disini!" lirihnya sembari terisak.
"Kamu tenang sayang, sekarang kita pulang. Ayah janji, Ayah akan bawa Ana keluar dari sini secepatnya apapun yang terjadi. Pegang janji Ayah, janji seorang prajurit." Zainal mengusap lembut surai putrinya. Namun tak lama setelah itu suara tembakan disertai dengan derap langkah membuat keduanya sama-sama terkejut. Dengan sigap Zainal berdiri mengamati sekitar, lalu menarik Ulfa supaya berada di belakangnya.
Pintu ditendang dengan kasar, disana terdapat beberapa orang polisi yang sudah berhasil meringkus beberapa orang yang sudah menculik Ulfa.
"Mereka sudah berhasil kami tangkap, situasi di luar sudah aman. Anda bisa dengan segera membawa putri Anda untuk keluar dari tempat ini." perintah salah seorang polisi yang memang ditugaskan untuk mengusut kasus penculikan ini.
Seseorang yang merupakan pimpinan dari segerombolan penculik itu berontak saat melihat Zainal akan beranjak membawa anak itu keluar. "Jangan harap kalian bisa keluar dari tempat ini! Kalaupun bisa, sudah dipastikan akan ada kenaikan pangkat menjadi anumerta!"
Ucapannya barusan memancing amarah anggota polisi yang sedang memegangnya. Karena terus berontak, akhirnya ia pun mendapat tendangan keras pada tulang keringnya membuatnya tersungkur ke lantai. "Diam atau hukuman Anda kami tambah!"
"Silahkan saja, silahkan saja kalian tambah! Lo pikir dengan ancaman murahan kayak gitu bisa bikin gue takut, iya?! Hahh!" teriaknya tersenyum miring. "Itu salah besar. Semua orang tahu hukum di negeri ini itu tidak adil. Ada uang, hukuman pun hilang. Jika mereka yang mengerti hukum bahkan melakukan korupsi sampai milyaran rupiah saja bisa dikurangi hukumannya, kenapa gue tidak? Gue juga bisa kali. Karena apa? Di dunia ini gak ada seorang pun yang bisa menolak uang." Ia berniat bangkit, tapi dengan cepat punggungnya di injak keras dan setelahnya tidak ada perlawanan. Pergerakannya semakin terkunci saat sebuah pistol sudah tertodong di pinggir kepalanya.
DOR!
DOR!
Dua tembakan melesat mengenai tangan dan kaki seorang anggota polisi yang meringkus Morgan. Anggota polisi yang bernama Bumi itu terduduk di lantai.
Sontak pitol yang ia pegang terjatuh, dengan cepat Morgan membawanya dan bersamaan dengan itu sebuah peluru melesat ke arahnya. Namun tidak sempat bersarang di tubuhnya karena ia dengan sigap menghindar. Tetapi peluru itu berhasil melumpuhkan seseorang yang berdiri dibelakangnya, membuatnya terkapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEVAN
Teen Fiction"Kesalah pahaman yang berujung penyesalan" **** Ketua geng motor biasanya dominan dengan pemimpin yang dingin dan jarang bicara. Namun berbeda dengan seorang Gevan Radithya Pranadipa seorang leader dengan segal...