Part 37

209 19 11
                                    

"Kata orang akan ada pelangi setelah hujan.
Tapi aku ragu, karena hujan yang ku hadapi selalu disertai dengan petir bukan pelangi."

Seorang gadis sedang termenung sendirian di taman belakang sekolah. Semilir angin menerbangkan anak rambutnya, membuat pandangannya sedikit tertutupi. Sorot mata yang dulu selalu menampilkan keceriaan, kini kosong seakan tidak ada harapan. Sedang asik dalam kesendiriannya tiba-tiba sebotol teh kotak sudah terpampang di depan mata. Saat mulutnya sudah terbuka ingin menyumpah serapahi seseorang yang sudah mengganggunya. Tapi ucapannya seakan tertahan saat matanya menangkap sosok laki-laki yang berdiri dihadapannya dengan tatapan dingin khas pemuda itu.

"Kak Galang?" beo Ulfa, gadis itu merasa kaget saat melihat sosok Galang berdiri di depannya. Entah  ada angin dari mana yang membuat Galang repot-repot menemuinya disini.

"Ambil! Tangan gue pegal," perintahnya yang langsung dituruti oleh gadis itu. Tanpa pikir panjang Galang duduk di sebelah Ulfa,  yang lagi-lagi membuat gadis itu tercengang.

"Kakak ngapain disini? Bukannya kalian paling anti sama penghianat," ucapnya sembari tersenyum miris di akhir kalimatnya.

Pemuda di sebelah menghela napas berat, entah kenapa ia pun merasa miris dengan nasib gadis disampingnya. Setelah keluar dari Rumah Sakit bukannya mendapat semangat, ia malah dijauhi oleh satu sekolah terutama Savior. Kecuali para sahabat gadis itu yang mungkin masih setia menemaninya.

"Gue cuma mau ngingetin sama lo, hati-hati. Karena yang gak suka sama lo bukan cuma anak-anak Purnama aja, mereka yang kemarin nyerang Gevan juga pasti berusaha nyelakain lo. Dan satu hal lagi, beri tahu sama Kakak lo untuk jangan bergabung dengan si bajingan Marco. Karena kalau dia emang sahabat Kakak lo, dia gak mungkin tega nyerang lo." peringatnya yang diangguki oleh gadis itu.

Tanpa mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan, gadis itu mulai meminum teh kontak yang diberikan Galang. "Aku tahu kok, tapi aku gak mau ikut campur karena itu urusan mereka. Sekarang aja saat aku gak tahu apa-apa sudah disalahin sampe kayak gini, apalagi nanti Kak. Kalau aku berusaha ngomong kayak gitu sama Bang Faza, bisa-bisa aku juga dikira penghinat oleh mereka. Mereka pasti akan nuduh aku, sama seperti apa yang kalian lakuin sekarang. Aku udah cukup cape ngadepin semuanya."

Galang menggeram kesal ditempatnya, ia kesal dengan pola pikir Ulfa yang terkesan putus asa. "Tapi ini demi keselamat lo! Dengan lo berdiam diri kayak gini, itu akan membuat mereka lebih mudah nyelakain lo!" nada suara Galang agak meninggi karena sebal dengan sikap keras kepala Ulfa.

Gadis itu mendongak menatap Galang nyalang. "Sahabat Kakak yang udah membawa aku masuk ke dalam permasalahan ini. Seharusnya dia juga yang bertanggung jawab membantu untuk menyelesaikannya. Tapi ini mana? Mana Kak?! Nyatanya kalian semua ninggalin aku sendirian untuk menanggung semua permasalahan, tanpa memberi tahu bagaimana jalan keluarnya!"

Pemuda itu balas menatap Ulfa tajam. "Seharusnya lo mikir, Gevan ngelakuin itu karena lo adalah adik dari Faza, seseorang yang sudah membunuh Azka!" balasnya santai namun menusuk.

Tak terasa setetes cairan bening keluar dari pelupuk mata gadis itu. "Seseorang tidak bisa memilih dia dilahirkan dari siapa? Bersaudara dengan siapa? Tapi aku bahkan sangat bersyukur meiliki Ayah dan Bunda yang hebat. Aku juga bangga memilik Bang Faza yang sayang sama aku. Kesalahan Bang Faza, tidak sebanding dengan kasih sayang yang selama ini dia berikan. Aku juga sempet kecewa dan marah sama Bang Faza, tapi itu tidak berakhir lama, karena hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku tidak pernah merasa malu karena aku merupakan adik dari seseorang yang kalian sebut penghianat. Terkadang aku selalu berpikir mengapa aku dilahirkan, jika kehadiranku hanya menjadi beban bagi orang-orang yang aku sayang."

GEVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang