53. Permainan semesta

489 102 3
                                    

꧁𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆 𝕸𝖎𝖑𝖎𝖐 𝕭𝖚𝖒𝖎

Kemarin kau menarikku dengan penuh
Sekarang kau mendorongku dengan sungguh-sungguh.

SENJA menghela napas panjang, berharap air mata yang hendak meluncur melebur bersama angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SENJA menghela napas panjang, berharap air mata yang hendak meluncur melebur bersama angin. Pandangannya terhenti pada sosok yang sudah lama ia rindukan.

Bumi dan Senja duduk diam di salah satu bangku taman sekolah. Dari sudut matanya, Senja hanya mampu menangkap bahwa lelaki itu baik, mungkin jauh lebih baik dari keadaannya. Ia hanyut dalam kenangan, menikmati pilu yang perlahan menggerogoti. Senja mencoba menarik napas, mengumpulkan keberanian sebelum kalimat terucap dari mulutnya.

"Terimakasih dan maaf." lirihnya membuat lelaki itu mau tak mau mendongak, menatapnya dengan alis terangkat sebelah.

"Aku ngerti kenapa kita harus jadi kayak gini sekarang." ujar Senja. Gadis itu meremas roknya kuat. "Dan keadaan ini sulit diubah. Tapi bisa, nggak, seandainya aku minta sesuatu dari kamu?"

Jika boleh, Bumi lebih memilih menghadapi ratusan jurang daripada harus duduk bersama Senja saat ini.

"Aku mau jalan lagi sama kamu, kayak waktu itu."

Apalagi jika Senja meminta hal mengejutkan yang ingin sekali lelaki itu lakukan setiap hari dengannya.

"Anggap aja ini terakhir kencan kita, cuma satu hari aja, kok." Senja cepat-cepat menggeleng, lalu menunduk menahan napas. "Aku tahu ini salah, tapi cuma sekali ini aja. Setelah itu, aku akan berusaha lupain semuanya... dan jalani hari tanpa ada kata kita."

Bumi menahan napas, matanya menangkap Senja yang menunduk ketakutan. Ingin sekali rasanya ia menenggelamkan diri dalam dekap hangat pundak gadis di depannya, atau menggenggam jemarinya seperti menggenggam semesta. Atau bahkan mengiyakan permintaannya tanpa berpikir lama. Tapi ia tidak bisa, Bumi hanya takut rasanya pada Senja semakin bertambah besar dan sukar untuk dihilangkan.

"Gue nggak bisa."

Mendengar jawaban itu, Senja hanya bisa menghela napas panjang. Air mancur di taman berisik, tapi jauh lebih berisik dari isi kepala Senja.

"Jangan anggap pertolongan gue kali ini lebih. Gue nolong lo karena gue nggak suka dengan penindasan."

"Ohh, ternyata aku salah ngira." gumamnya lalu mendongak, menatap Bumi yang sudah meluruskan pandangannya. "Kamu benci sama aku, ya?"

Bumi tersentak. Lelaki itu mencengkeram erat pergelangan tangannya, lalu mengalihkan pandangan pada Senja sepenuhnya. Tatap lelaki itu berubah tegas, garis rahangnya juga terlihat mengeras. Rasanya ia ingin mengatakan tidak, tapi bibirnya kelu dan sungguh terasa menyakitkan.

"Gue benci lo. Sangat."

Ia juga benci takdir.

"Bahkan melihat lo aja gue nggak mampu. Karena rasanya sakit kayak dikhianati dan itu memuakkan."

Senja Milik Bumi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang