꧁𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆 𝕸𝖎𝖑𝖎𝖐 𝕭𝖚𝖒𝖎꧂
Happy reading!
BUMI dan Senja akhirnya di sini, di atas atap rumah sakit. Sore itu matahari perlahan-lahan merambat ke barat. Bentuknya sempurna, warnanya jingga seperti api yang membara.
"Rasanya pasti sakit banget, ya?"
Saat Bumi menatapnya dari samping, Senja tahu bahwa lelaki itu tengah mencemaskannya. Senja jelas merasakan saat tangan Bumi menggenggamnya dengan sangat erat.
"Aku udah biasa."
Dan seperti yang sudah-sudah, Bumi berakhir lemas saat Senja mengatakan hal itu dengan senyuman tipis.
"Jadi manusia yang baik itu kayak gimana? Mungkin gue bisa coba pelan-pelan mulai dari sekarang. Walaupun gue rasa itu akan percuma."
"Percuma? Kebaikan itu nggak ada yang sia-sia. Nggak ada yang sia-sia di dunia ini, Kak." Saat Bumi menoleh, Senja tersenyum lembut sekali. "Selain namamu, yang membekas di hati orang lain adalah kebaikanmu."
Kali ini Senja yang menoleh ke arah Bumi dengan senyum tipis. "Ayah pernah bilang sama aku kayak gitu. Kalau kamu baik, bukan hanya kamu yang akan diingat oleh orang lain. Tapi juga perbuatan kamu, nggak akan pernah mati. Semua orang yang mengenal kamu, nggak akan pernah menyesal berurusan sama kamu."
Gadis itu menatap rumput liar yang tumbuh di sela cor-coran atap. Dia sering membayangkan menjadi bunga hias. Namun semakin ke sini, gadis itu memilih menjadi rumput liar saja alih-alih bunga hias secantik mawar. Sehabis mekar, bunga mawar akan mengering, layu dan akhirnya mati. Atau mati karena batangnya membusuk terlalu banyak disiram. Tapi rumput liar tidak. Memang tidak secantik mawar, tapi rumput liar tidak peduli jika dia diinjak berkali-kali, mengering sampai mati, pada akhirnya dia akan tumbuh lagi. Justru semakin lebat, kan?
Rumput liar tidak merengek untuk disiram seperti halnya mawar. Tidak perlu dirawat. Cukup biarkan saja dia menjalani hidup dengan caranya sendiri.
Sederhananya begini; diinjak? Bangkit. Dicabut? Tumbuh. Dibasmi sampai mati? Ya, tumbuh semakin lebat lagi.
"Kamu tahu apa bentuk kebaikan paling sederhana?"
"Apa?"
Bumi tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Duduk berdua di tempat ini bersama Senja. Menikmati sore yang cerah bersama.
"Senyuman. Dulu waktu pertama kali aku lihat kamu, sempet kepikiran kayak gini; 'emang ada orang yang tertarik berteman sama dia?' Tapi malah aku yang buat masalah dan berujung dekat sama kamu."
Bumi tidak mengatakan apa-apa. Lelaki itu hanya tertawa ringan. Namun anehnya, tawa itu terdengar menyedihkan.
"Apa lagi yang lo tahu tentang gue?"
Senja menggeleng, "nggak ada lagi. Kita belum sempat bicara banyak hal. Belum saling membuka cerita, pokoknya ya belum apa-apa tapi udah keburu putus." Gadis itu tertawa, namun dia hentikan karena saat itu perutnya mendadak sedikit sakit.
"Maaf." ucap Bumi.
Senja menggeleng lagi. "Nggak perlu minta maaf."
Lalu keduanya sama-sama menerawang angkasa. Matahari sudah sepenuhnya kembali ke peraduan. Namun sinarnya masih ada, memukau mata.
"Kamu punya mimpi?" tanya Senja.
"Punya, pengen jadi pelukis. Tapi kayaknya enggak lagi."
Senja terdiam, namun bukan karena kata-kata Bumi. Gadis itu jadi teringat Fajar. Pada mimpi lelaki itu yang harus terhenti. Dulu, tidak ada satupun orang yang tahu mengenai mimpi Fajar. Hingga akhirnya Fajar memilih titik untuk menyerah dan meletakkan mimpinya dalam angan-angan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Milik Bumi (Completed)
Non-Fiction[SELESAI] Aku perlu puluhan malam agar aku paham apa yang kamu katakan. Bahwa kamu memang akan pergi meninggalkan. Bahwa senja adalah tanda perpisahan. Jika kita tidak ditakdirkan untuk bersatu Rindukan aku seperti pasir yang mengukir jejak kita yan...