꧁𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆 𝕸𝖎𝖑𝖎𝖐 𝕭𝖚𝖒𝖎꧂
Seperti bagaimana Senja, aku berharap aku bisa terus melihat dia.
Happy reading!
"SENJA? Mau berangkat sekarang, ya?"
Gadis itu menoleh, kemudian mengangguk setelah menerbitkan seulas senyum tipis kepada Ayahnya.
"Hati-hati, jangan kecapekan." ucap Ayah membuat Senja mengangguk pelan. Dikecupnya sekilas pipi gadis itu sebelum dia masuk ke dalam mobil. "Bumi ingat ya jangan pulang malam-malam!"
"Iya, Om."
"Sebentar!"
Saat itu Senja berpikir bahwa Bunda akan mengikuti langkah Ayah, yaitu; memberikan wejangan kepada dia panjang lebar. Tapi ternyata tidak, wanita itu datang dengan senyum lebar serta pelukan hangatnya.
"Ya ampun Bunda, kayak Senja mau pergi kemana aja!" kata Langit sambil geleng-geleng kepala. "Senja kan cuma pergi sebentar, Bunda ada-ada aja lagian."
Bunda terpaku. Oh iya, benar juga. Tapi sebelum Senja benar-benar tenggelam dalam mobil hitam Bumi, wanita itu kembali memeluk Senja sekali lagi. "Kamu kelihatan pucat loh, yakin mau pergi?"
Senja mengangguk. "Iya, Bunda jangan khawatir. Aku udah baikan kok. Lagipula ada Kak Bumi yang jagain aku."
Bunda mengangguk. "Bumi, jagain Senja ya! Hati-hati kalian berdua."
Yang Bunda lihat setelahnya adalah lambaian tangan Senja dari dalam mobil. Gadis itu mungkin sudah berlalu jauh, tapi ada sesuatu yang tertinggal di hati Bunda, yaitu; perasaan takut dan khawatir yang tak berdasar.
Mungkin hanya dirinya yang merasakan demikian, tapi bukankah firasat seorang ibu tidak pernah salah? Maka sebelum pikiran buruk mulai menghinggapi kepalanya, Bunda memilih masuk ke dalam rumah.
"Kamu cuma dadah-dadah mau pergi sebentar tapi kenapa rasanya kayak mau pergi jauh dari Bunda, ya?"
***
Minggu sore itu, langit berwarna cerah. Beberapa bagiannya bahkan dihiasi oleh jingga dan merah yang menawan. Di sore itupun, langit belum terlalu petang saat Bumi dan Senja duduk di restoran tepi pantai. Suasana ramai pengunjung, mereka seolah berlomba-lomba untuk menyaksikan sang mentari yang akan terbenam di seberang lautan.
"Kamu sering ke sini?"
Di seberang meja, Bumi mengangguk. Lelaki itu sedari tadi hanya mengamati Senja tanpa suara. Bagaimana rambut pendek gadis itu tertiup angin. Bagaimana senyum tipis terulas saat dia menatap lautan yang membentang. Juga dari bagaimana matanya yang berbinar takjub saat matahari mulai terbenam.
"Hari ini lo cantik--" Bumi menggelengkan kepalanya cepat, "enggak-enggak. Lo selalu cantik." ralatnya.
Senja tersenyum. Dan tak lama setelah itu, berpiring-piring makanan mulai tersaji di meja mereka. Namun anehnya, Senja merasa dadanya mulai sesak. Padahal sebelum ke sini, gadis itu sudah meminum obatnya.
"Kenapa?" Bumi bertanya pada Senja setelah pramusaji meninggalkan meja mereka. "Dingin, ya?" Lalu tanpa berlama-lama, Bumi berdiri dan mulai menyampirkan jaketnya pada bahu Senja.
"Makasih."
Akhirnya, Bumi menarik napas panjang. Ketika kembali menatap Senja, lelaki itu tersenyum tipis. "Lo tahu apa alasan buat gue bisa sampai di sini sama lo sekarang?"
"Apa?"
"Karena gue masih sayang sama lo."
Detik itu juga Senja tergelak. Gadis itu kemudian diam, memilih tidak bersuara. Entah karena angin sore itu yang membuatnya kedinginan, atau karena kalimat Bumi barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Milik Bumi (Completed)
Non-Fiction[SELESAI] Aku perlu puluhan malam agar aku paham apa yang kamu katakan. Bahwa kamu memang akan pergi meninggalkan. Bahwa senja adalah tanda perpisahan. Jika kita tidak ditakdirkan untuk bersatu Rindukan aku seperti pasir yang mengukir jejak kita yan...