73. A truth; Mama

630 97 4
                                    

꧁𝕾𝖊𝖓𝖏𝖆 𝕸𝖎𝖑𝖎𝖐 𝕭𝖚𝖒𝖎꧂

Happy reading!

HARI Senin, jam setengah delapan pagi.

Belakangan ini, ada beberapa kata yang cukup menakutkan bagi Bulan. Perpisahan, kehilangan, dan kematian. Seirama dengan detak jam dinding, senada dengan cairan infus, gadis itu terpaku pada sosok di depannya. Bahkan sejak bermenit-menit lalu ia sudah membiarkan air matanya jatuh. Melihat sahabatnya-- Senja, terbujur lemah tak berdaya, rasanya lebih menyakitkan dari putus cinta.

Sepanjang jalan menuju rumah sakit, Bulan tak henti-hentinya mengumpati Nathalie. Gadis itu selain jahat juga tidak tahu diri. Sudah dipastikan setelah ini Bulan akan menjebloskannya ke dalam penjara. Biar saja gadis itu mati dalam jeruji besi. Ia sama sekali tidak peduli. Kalaupun ia tidak bisa menjebloskannya ke dalam penjara, Bulan masih bisa menghubungi dukun terkenal di Jakarta. Biar dosa sekalipun, ia tidak mau tahu apalagi peduli.

Karena Nathalie, Senja jadi luka-luka seperti ini. Apalagi melihat rambut indah gadis itu habis dipangkas dan tersisa sebatas bahu saja, itupun tidak rata. Lalu saat ponselnya berbunyi, Bulan terpaksa menunda sumpah serapah yang sudah berjejal dalam mulutnya.

"Kenapa?"

"Gimana? Udah sadar?"

"Belum."

"Gue ke sana deh."

Kemudian terdengar bunyi motor dinyalakan, tapi lebih cepat dari itu-- Bulan menggeleng kuat. Walaupun ia tahu itu tidak akan terlihat dari seberang telepon sana.

"Nggak. Apaan, sih! Lo hari ini ujian hari pertama! Ntar aja kalo udah selesai. Lagian di sini ada gue, Bang Langit... lo jangan khawatir. Ayah sama Bunda juga lagi di ruang dokter, palingan bentar lagi ke sini."

"Setelah selesai gue ke sana."

"Iya, kerjain yang bener lo!"

"Tenang, gue kan pinter."

Lalu telepon mati. Bulan berdecak sebal, menyebalkan, batinnya.

"Senja, gue di sini. Bangun, ya? Kapan-kapan kita jalan, udah jarang banget kita nggak jalan bareng." bisiknya, meski ia tahu Senja tidak akan menjawabnya. Sudah terhitung satu hari gadis itu tidak bangun dari tidurnya.

Tidak beberapa lama, pintu ruang rawat terbuka. Memunculkan lelaki jangkung yang tak lain adalah Kakak Senja.

"Makan."

Langit meletakkan sekantong makanan yang ia beli entah dari mana.

"Senja udah beberapa kali ini skip jadwal cuci darah." ucapnya. "Mungkin karena semalam dia kehujanan jadinya ngedrop."

Langit menyenderkan tubuhnya pada sofa rumah sakit. Seandainya saja ia tidak segera membawa Senja ke rumah sakit, maka semuanya akan selesai. Ia akan menjadi manusia paling berdosa bersama penyesalan dalam hidupnya.

"Tante sama Om kemana?"

"Pulang, ngambil baju."

"Senja bisa sembuh, kan?" Bulan mulai memberanikan diri untuk bertanya dengan suara lirih.

Alih-alih menjawab, Langit malah menatap wajah Senja nelangsa. Wajah penuh memar itu perlahan membuat jantung Langit seakan-akan digenggam erat sampai-sampai ia kesulitan untuk bernapas.

"Berdoa aja, semoga Senja bisa secepatnya bangun."

Saat itulah, Bulan merasakan tangannya bergetar. Jika memang Tuhan maha mendengar keluhan hambaNya, bisakah ia mengabulkan permohonannya?

Senja Milik Bumi (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang