Setelah melewati kejadian yang begitu panjang. Aldebara bisa kembali hidup dengan normal. Ia mengajak keluarga Chika untuk tinggal di rumahnya yang sangat besar itu agar tidak terlalu merasakan kesepian. Baron pun telah menjalankan perusahaan milik Gergio dengan baik. Aldebara seolah mendapat kehidupan baru sekarang.
"Gimana? Enak gak masakan bunda?" Tanya Anita penuh harap ke arah Aldebara.
Aldebara tersenyum simpul "Pasti dong..." jawabnya dengan mengacungkan jempolnya sebelah kanan.
Anita tersenyum lebar mendengarnya. "Makasih yah bun. Aku udah lama banget gak ngerasain masakan seorang ibu" lanjut Aldebara dengan tatapan lurus kedepan.
"Jangan sedih dong. Anak laki-laki itu harus kuat. Karena kita memang di ciptakan untuk kuat Aldebara" ujar Baron dari tempat duduknya.
"Iya kak Al harus kuat ya. Kan sekarang ada Caca, bunda sama ayah. Kita bakal selalu jagain kak Al" ujar Caca.
Aldebara terkekeh kecil "Emang kamu bisa jagain kak Al?"
"Bisa dong. Kak Al gak tau sih, aku dulu pernah di ajarin karate sama kak Chika"
Aldebara mengangkat sebelah alisnya terkejut "Oh yah?"
Caca mengangguk polos "Iya. Nanti Caca ajarin kak Al beberapa jurus andalan kak Chika" ujar Caca dengan mengangkat tangannya membentuk tinju hingga membuat gelak tawa di seluruh penjuru ruang makan.
'Trauma.terluka.tumbuh. Dari sini aku belajar memang tidak ada yang bisa terjadi dalam satu waktu. Aku harus belajar satu persatu. Karena semua butuh proses, semua butuh waktu, dan butuh kekuatan untuk sembuh" batin Aldebara.
******
Aldebara menatap kosong koridor sekolah yang ada di hadapannya. Tempat itu banyak sekali menjadi saksi perjalanan hidupnya dengan Chika. Dari awal ia menabrak Chika di sini, membelikannya pembalut, menggandeng tangannya, dan melihat bagaimana ia menangis berlutut di hadapannya. Seolah ada kenangan yang menyatu menjadi bahagia, sedih dan terluka.
Tiba-tiba tubuh Aldebara terdorong kuat ke depan. Siapa lagi kalau bukan Azam dan Fadil. Mereka sengaja menabrak Aldebara dengan keras.
"Heyo watsap man. Mikirin apa lo?" Tanya Fadil dengan nada ceria seolah ingin menghibur Aldebara.
Aldebara hanya menoleh tak menjawab. Perlahan Azam mengelus pundaknya "kalo hari ini elo inget seseorang terus sedih. Percayalah, lo tuh gak lemah ya cuma kangen aja. Karena hati akan selalu mengerti apa yang gak di ucapkan lisan dan apa yang gak di dengar telinga, bahwa lo merindukan dia. Manusiawi Al tapi kalo ikhlas dapat memperbaiki semuanya kenapa enggak?"
Aldebara menghembuskan napasnya panjang "Gue cuma sedikit nyesel karena udah ngasih kenangan buruk di akhir kehidupan dia"
Fadil mengangguk dan ikut menggandeng bahu Aldebara "Kita gak akan pernah tahu kapan orang akan pergi. Jadi mulai sekarang jadiin pelajaran aja. Dan lakukan yang terbaik selagi bisa"
Aldebara mengangguk dan tersenyum simpul. Betul kata Azam dan Fadil. Tidak ada gunanya lagi menyesal. Semuanya sudah terjadi, dan ini bukan akhir. Ini adalah awal untuk kehidupan yang selanjutnya.
Saat mereka sedang serius berbicara. Tiba-tiba ada seseorang yang melempar sebuah permen tangkai ke arah Aldebara kuat hingga membuatnya kaget. Ia mendongak untuk melihat siapa pelakunya. Dan ternyata itu adalah Haikal.
"Serius amat. Biasanya bocah releks kalo dikasih permen" ujar Haikal santai seraya melangkah ke arah mereka dengan tangan di saku.
"LO!" Tunjuk Aldebara emosi hendak menghampirinya namun Azam menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHIKAL [COMPLETED]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!] [PLAGIAT DILARANG MENDEKAT] Mengapa saat dewasa kita menggunakan pulpen sebagai pengganti pensil? Karena agar kita mengerti, betapa sulitnya menghapus sebuah kesalahan. Walau telah berhasil di hapus, tetap saja akan m...