56| A Letter I Sent You

4.6K 639 270
                                    

Trigger Warning: Mention of death, suicide, and mental illness.

Trigger Warning: Mention of death, suicide, and mental illness

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terhitung enam kali Keenan kembali ke tempat ini. Berdiri di depan gerbang rumah Rachel yang nggak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Berkali-kali pula Keenan menekan tombol intercom meskipun sadar tetap nggak ada jawaban.

Tempat pertama yang tadi Keenan datangi tentu apartemen Rachel. Nggak jauh berbeda dengan kondisinya saat ini, Keenan menunggu di depan pintu hingga berjam-jam. Usahanya untuk membuka pintu dengan pin digital door unit Rachel juga nggak membuahkan hasil. Angka-angkanya telah sengaja diubah.

Nggak sampai di sana, Keenan mengunjungi rumah Alyssa dan Abam karena mereka berdua kompak sulit dihubungi. Anehnya kedua orang itu seakan lenyap tanpa jejak bersamaan dengan Rachel. Keenan sempat bertemu Ibunya Abam hanya untuk mendapat informasi bahwa Abam pergi selama beberapa hari tanpa menyebutkan keterangan tempatnya dengan jelas.

Puncak frustasi Keenan adalah saat dia menghubungi Chris demi mendapat alamat Jihane. Keenan meyakini bahwa mungkin Rachel berada di sana. Walaupun nggak bisa dibilang sering—untuk berbagai alasan—Rachel lebih suka menginap di rumah Jihane jika sedang nggak ingin sendirian.

Setelah menunggu agak lama Keenan akhirnya bertemu Jihane yang keluar dengan mata kentara sembab. Hal tersebut jelas disadari Keenan. Tapi untuk menanyakannya lebih lanjut Keenan merasa sungkan. Belum tentu juga kan alasan cewek berambut sebahu itu menangis karena Rachel.

"Ji, tau Rachel di mana?" tanya Keenan tanpa basa-basi. "Handphone-nya nggak bisa dihubungi dari pagi. Gue samperin apart sama rumahnya juga nggak ada orang. Gue emang sempet berantem kemarin, tapi ini gue mau minta maaf."

Jihane memandang Keenan nanar sebelum menunduk dan menjatuhkan atensi pada aspal depan rumahnya. "Gue nggak tau, Nan. Sorry."

Sejujurnya Keenan merasa ada yang janggal. Rachel pernah bilang kalau sepupunya yang satu ini akan cenderung panik dan kelewat khawatir hanya karena Rachel telat membalas chat. Tapi melihat respon Jihane yang seperti sekarang jelas berbanding terbalik dengan ucapan Rachel. Walau nggak bisa dibilang tenang juga, Jihane kelihatan nggak terkejut sama sekali.

"Serius nggak tau? Gue udah cari Rachel ke mana-mana, Ji."

Jihane tetap menggeleng. "But as far as I know, kalo lagi ada masalah Rachel suka nggak mau diganggu. Jadi kalo emang bener kalian lagi berantem, tunggu dia sampai dateng ke lo sendiri."

Keenan nggak puas dengan jawaban Jihane. Namun apa boleh buat, dia nggak mungkin mengorek informasi lebih kalau Jihane sendiri tampak enggan. "Yaudah, thanks, Ji. Kalo misal Rachel reach out lo tolong kabarin gue ya?"

Dalam hati Jihane merasa kasihan pada Keenan. Ekspresi kecewa dan juga lelahnya terlukis jelas tanpa bisa ditutupi. Sejauh yang Jihane tahu Keenan memang nggak pernah tampil mencolok—yang penting rapi dan bersih. Namun Keenan yang baru saja datang benar-benar sangat berbeda. Bukan hanya karena kaos lusuh yang melekat di tubuhnya, tapi juga wajah Keenan yang cukup menjelaskan kalau beberapa hari ini dia nggak mendapatkan tidur nyenyak.

SerotoninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang