Raline tidak ingat sejak kapan air selalu berkaitan erat dengan alasan-alasan ia hampir meregang nyawa. Kalau disebut trauma, tidak juga. Apa yang layak disalahkan dari sebuah senyawa tidak berwarna tersebut? Tidak ada. Mungkin yang patut dipertanyakan adalah kenapa ia harus mengalaminya berulang kali.
Ketidakberuntungannya ini bermula saat Raline masih berumur enam. Masih terekam jelas diingatan Raline kala kedua orangtuanya sibuk berdebat siapa yang lebih salah sedangkan tubuh kecilnya makin lama makin terbenam. Ketika Raline membuka mata yang ia lihat tetap sama. Aksi saling tunjuk seakan-akan mereka dewa yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Padahal faktanya, kalau mereka berdua tidak sibuk dengan gawainya masing-masing, Raline tidak akan nekat masuk ke dalam kolam hanya demi sebuah perhatian.
Waktu berganti, namun nasib Raline masih sama. Bedanya mungkin kini bersumber dari sifat keras kepalanya. Sore itu Raline dimarahi habis-habisan karena masih tidak menunjukkan progress untuk penilaian renang yang dilakukan guru olahraganya sewaktu SMA. Raline yang tidak pernah bisa menerima penolakan nekat berlatih sendirian sampai hari hampir petang. Dan untuk sekali lagi, Raline nyaris mati mengenaskan kalau saja seseorang tidak menarik tubuhnya yang hampir tenggelam.
Semua terasa sama. Sesak yang menekan dada, air yang seakan-akan memenuhi rongga tubuhnya. Bahkan saat Raline akhirnya membuka mata, sosok yang pertama kali ia temui tetap sama. Seperti 4 tahun yang lalu; Keenan.
Raline masih terbatuk saat Yuna merengkuh tubuhnya dengan handuk, menepuk-nepuk punggungnya mencoba membantu mengeluarkan air yang masih mengganjal di tenggorokan. Kepala Raline berdenyut, bahkan pandangannya masih kabur. Tapi Raline jelas tahu kalau orang-orang kini mengerubunginya.
"Yun, mending sekarang lo bawa Raline ke kamar." Minta Keenan setelah melihat Raline sudah bernafas dengan normal.
Sepanjang jalan menuju kamar, mata Raline mengedar. Mencari sosok yang sedari tadi tidak terjamah matanya. "Yun, yang nolongin gue Keenan?"
Yuna mengangguk ragu, "iya."
"Juna dimana?"
Mendengar pertanyaan Raline terlontar, Yuna hanya tersenyum kecut. "Ada. Di dalam."
"Kenapa bukan Juna yang bantuin gue?"
Demi Tuhan, Yuna paling benci harus ada di situasi serba salah seperti ini. Lewat matanya, Yuna berkomunikasi dengan Erina yang kebetulan ikut membantunya mengantar Raline ke kamar. Mencoba merangkai kata yang sekiranya gak akan menyakiti Raline terlalu dalam. Meski percuma.
"Yun? Er? Kok malah diem?"
"Hng, tau kan tadi lo jatuh sama Miran?" Yuna menelan ludah sementara, Raline mengangguk.
"... Juna bantuin Mi—"
"Oh. Oke." Seperti enggan mendengar kalimat lanjutan Yuna, Raline segera berlalu masuk ke kamar lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
Fanfiction"I'll be your meds. Let me be your daily dose of Serotonin." "Then i'll be your dopamine, huh? You wish." ©niciwinibiti, 2020