"Gue kira lagi ada pemadaman massal, taunya semangat hidup lo yang padam."
Keenan membuka mata—yang sebetulnya belum terpejam semalaman—saat mendengar suara familiar muncul di tengah sepi yang sengaja ia ciptakan. Manik Keenan kontan menyipit kala retinanya langsung disambar cahaya saat lampu kamar kembali dinyalakan. Nggak jauh darinya, Darwin berdiri dengan tangan kanan dimasukkan ke dalam kantong celana, sedang sebelahnya menenteng plastik putih entah berisi apa. Setengah wajah Darwin yang tertutup topi hampir membuat Keenan mengira apartemennya dimasuki orang asing.
Beberapa minggu ini—semenjak liburan tepatnya—cowok itu jadi rajin datang dan pergi ke apartemen Keenan seolah tempat tersebut adalah rumah keduanya. Walau diawali dengan penolakan, hari-hari setelahnya Keenan tetap membiarkan Darwin masuk sesuka hati. Bahkan memberi tahu pin digital door unitnya.
"Sehari ini aja gue nggak mau diganggu. Lo bisa balik ke rumah." balas Keenan lalu membalik tubuh membelakangi Darwin.
Nggak menghiraukan ucapan Keenan, Darwin tetap mendekat. Pantatnya ia daratkan di lantai vinyl sebelum menyandarkan punggung pada tepi ranjang. "Berantem lo sama Rachel?"
Nggak ada jawaban. Meski begitu tetap nggak menghentikan Darwin untuk terus bersuara. "Gue denger namanya Jordan, kenalan Hazel. Beberapa tahun ini ngilang karena pindah ke California. Sempet lost contact sama Hazel karena beda sekolah waktu SMA, tapi belakangan mereka kontakan lagi."
"How do you know?"
Darwin mendengus. "Punya mulut sama telinga ya dipake."
"Let me guess," Darwin kembali membuka suara kali ini sambil mengeluarkan barang-barang yang ia beli dari dalam plastik. "Berantem sama Rachel gara-gara dia?"
Sempat terdengar helaan berat Keenan sebelum cowok itu bangkit dari tidurnya dan bersandar pada headboard. "Dia mantannya Rachel. Putus karena si brengsek ternyata abusive."
"Hm," Darwin mengangguk-angguk kecil. "Nggak kaget sih. Pantes berani nampar Rachel depan orang banyak. Terus apa yang lo berdua ributin kalo gitu?"
"She told me about everything last night. And since then, gue ngerasa nggak tau apa-apa tentang Rachel. Sempet beberapa kali gue nanya soal masalah ini tapi Rachel selalu jawab kalo itu bukan apa-apa. I gave her a lot of time already, but it turned out to be like this."
"And?"
"Gue butuh waktu buat mikir. I couldn't think straight when everything is too overwhelming. Ini masalah krusial dan Rachel milih buat nggak ngasih tau gue—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
Fanfiction"I'll be your meds. Let me be your daily dose of Serotonin." "Then i'll be your dopamine, huh? You wish." ©niciwinibiti, 2020