Yuna sibuk menatapi burung-burung yang mengepak jauh di cakrawala saat tiba-tiba dia merasakan sisi sebelahnya diisi seseorang. Kala angin berhembus menyebarkan harum yang amat Yuna kenali, gadis itu langsung paham siapa sosok di sampingnya kini.
Banyak yang bilang katanya kalau seseorang sudah melekat dengan ingatan kita selama bertahun-tahun, bunyi nafasnya saja cukup untuk membuat kita paham eksistensinya.
Danu, orang yang hampir sebulan ini Yuna hindari pun menghindarinya balik. Seakan memang ada rambu yang memerintahkan mereka untuk menjaga jarak dalam kurun waktu tidak ditentukan. Sampai hari ini, saat Danu menyapanya dengan suara khas yang selama 5 tahun kerap menyambangi telinga Yuna setiap hari.
"You doing great."
Yuna menoleh sebelum kembali melabuhkan matanya pada gulungan ombak dikejauhan. "Like I supposed to."
Hening. Sayup suara tawa orang-orang di belakang mereka pun seperti gak ada harganya kini. Terlalu sibuk dalam gumulan pikiran masing-masing sampai Yuna yang akhirnya memecah sepi. "How about you?"
"Gue?"
"Kabar lo? Did everything go well?"
Ada kekehan samar yang keluar dari bibir Danu. Tipis, tapi mampu membuat Yuna mengalihkan tatap padanya selama bermenit-menit. "Ya gitu, losing your loved one is never easy. But in the other hand, gue juga seneng. We no longer hurting each other."
"..."
"Maaf ya, Yun." Yuna dapat mendengar nafas Danu yang terhembus panjang sebelum dia kembali melanjutkan, "Gue tau tingkah nyokap gue ke lo, yet I still pretending like I don't know. Gue takut kalo gue bertindak lebih Umi bakal lebih benci sama lo, gue juga takut kalo nyinggung ini di depan lo, lo yang bakal pergi. Untuk itu selama bertahun-tahun gue milih buat tutup mata dan telinga. Sesuatu yang pada akhirnya gue sesali."
Yuna masih dengan bisunya juga kaki yang seperti tertancap pada bumi. Enggan bergerak tapi menolak pula untuk mengeluarkan kata-kata. Memilih untuk mendengarkan tiap tutur kata yang keluar dari bibir Danu—yang Yuna ketahui pula hasil dari timbunan hatinya selama setengah dasawarsa.
"Maaf juga karena gue egois, gak mikirin perasaan lo dan fokus sama diri gue sendiri. Yang ada di otak gue cuma gimana caranya lo gak menjauh, masih ada sama gue sampai waktu yang gue juga gak yakin keberadaannya ada untuk kita."
"Tapi, Yun, gue gak pernah nyesel udah berani ngajak lo pacaran hari itu."
Yuna tertegun, ingatannya sontak ditarik pada suatu sore beberapa tahun yang lalu. Saat Danu dengan seragam futsal lusuhnya menghampiri Yuna yang sengaja menunggu di pinggir lapangan dengan sebotol minuman isotonik di tangan. Latarnya mirip, mereka duduk pada sebuah bangku kayu lapuk dengan angin senja mulai berhembus menerpa wajah keduanya yang lengket karena keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serotonin
Fanfiction"I'll be your meds. Let me be your daily dose of Serotonin." "Then i'll be your dopamine, huh? You wish." ©niciwinibiti, 2020