41 - Siren Lament

300 44 3
                                    

Setelah kejadian itu, ia tak pernah kembali lagi ke Gusu maupun membalas surat Lan Xichen. Persetan dibilang pengecut atau apa pun, Jiang Cheng tidak perduli!

Dengan mata sembab dan memerah, hal itu sangat memalukan sehingga harus pulang diam-diam untuk menuju ke ruang pribadinya. Hanya di situlah, ia memasang mantera bisu suara dan mulai menangis untuk sekali lagi dalam tiga puluh tahun lebih hidupnya. Jujur saja, ia tidak suka menangis tapi dadanya sesak setelah dari perpisahan mereka sehingga jika tak dikeluarkan, maka harus membutuhkan orang untuk jadi pelampiasan emosinya. Akhirnya pada saat menjelang subuh, Jiang Cheng bersikap seperti tidak ada kesenduan dari kemarin malam dan menjadi Ketua Sekte Jiang yang bertangan besi seperti yang seharusnya.

Keesokkan hari, beberapa minggu, hingga tiga bulan berlalu dengan mengetahui kalau besok sama saja dengan hari lain yang akan datang. Temperamennya semakin memburuk, para anak buah juga semakin kewalahan akan kemarahan sang pemimpin kalau bersantai sedikit saja, dan mulai semakin gila bekerja untuk mencoba ambisius di batas. Meski sekarang musim panas, ia tetap bekerja sampai gulungan harian selesai dibaca olehnya. Hal itu berulang terus menerus hingga wakil tangan kanannya pun juga mulai mengkhawatirkan kelakuan workaholic sang ketua.

Sekarang, Jiang Cheng tengah mengurus dokumen di ruang kerja seperti biasanya pada jam tiga sore kala itu. Ia mencoba fokus membaca laporan yang baru datang kemarin. Bukan hal besar, hanya soal laporan pembangunan renovasi dermaga yang sudah mulai berkembang pesat untuk bagian pariwisata.

Tangannya kanannya mencoba mengambil kuas tapi lengannya tersenggol tumpukan gulungan doumen yang sudah dia susun tadi, membuatnya jatuh dari meja ke lantai kayu.

Lelaki Yunmeng itu mendecih sambil merunduk untuk mengambil serta menyusun kembali gulungan yang berantakan. Namun, sebuah benda jatuh ke lantai dari balik saku lengannya.

Jiang Cheng terdiam sesaat dan perlahan mengambil barang tersebut, duduk perlahan sembari memandangi sebuah jepit.

Ya, jepit berwarna ungu yang dihadiahkan padanya oleh Lan Xichen waktu itu. Mengingat memori yang beraangkutan di otaknya membuat sang ketua klan Jiang sedikit mengeratkan pegangan jarinya di aksesoris tersebut.

Ah, rasa sesak itu datang kembali. Dirinya menahan perasaan serta wajahnya yang sedikit merona ketika memandang jepit yang bersinar ketika cahaya mentari senja yang diam-diam masuk dari pintu.

Sudah semenjak kejadian itu, Jiang Cheng tak pernah kembali mau pun membalas surat Lan Xichen.

Bukannya apa, tapi ia sadar diri, kalau mereka hanyalah rekan semata. Mana ada rekan sekte yang berkunjung membawakan makanan kesukaannya dan berharap akan ekspresi kebahagiaan saat memakan makanan buatan sendiri? Itu sudah aneh.

“Hanya rekan... Oh, Dewa. Kenapa aku harus merasa tersinggung seperti itu?”

Ia menunduk sambil membenamkan wajahnya di atas meja dan menoleh ke tangan yang memegang jepitnya, menatap dengan buram sesaat.

Jiang Cheng bertanya dalam hati dan kebungkaman.

Apa yang ia harapkan selama ini?

Aneh jika meminta keakraban dari kultivator yang lebih senior daripada dirinya.

Perasaan apa yang sebenarnya dia punya sekarang ini untuk Lan Xichen?

Ia bingung untuk persoalan seperti menyangkut perasaan.

Ini sudah tidak masuk diakal.

“Argh…” Kepalanya berdenyut, dipegang oleh tangannya yang satu lagi dan menyangga dengan sikut. Jiang Cheng memejamkan mata lalu membukanya lagi.

Ada rasa berkecambuk. Ia ingin melihat Lan Xichen, tapi ia juga marah karena itu hanya akan membuat dirinya sendiri terlihat bodoh ketika tahu bahwa mereka berdua hanyalah rekan sekte.

Purple Lotus DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang