6.5 - Second Life

2.1K 181 53
                                    

Gelap.

Semuanya gelap.

Seharusnya begitu.

Setelah hidup bertahun-tahun dalam kegelapan dan penderitaan, di dunia setelahnya juga sama; gelap gulita.

Namun tak lama kemudian, sebuah suara halus, lembut, merintih dengan lemah. Seakan memanggilnya.

Saat hendak mencari tahu, yang terlihat hanyalah setitik cahaya perlahan membesar dan mendekat.

Makin membesar dan silau, semakin nyata hingga—

"...!"

Kelopak mata lentik itu terbuka dengan lebar.

Nafas terengah berat, keringat dingin bercucuran, hawa terasa menusuk ke seluruh tubuh, membuatnya merinding namun lembab.

Sembari menyadarkan diri, ia melihat langit-langit kamar yang sedikit memancarkan aura dingin. Perlahan, ia mencoba duduk dan melihat ke sekitar.

Kamar yang berfunitur kayu mahoni, ruangan pribadi tersebut juga terkesan feminim dan bersih. Beberapa aksesoris rambut wanita di meja rias seperti tusuk konde, bros dan pita rambut berukuran kecil.

Ia terdiam dan menunduk ke badannya sendiri. Menyentuh rambut panjang yang terawat rapi, sembari mengangkat kedua tangannya yang memiliki jari lentik.

Apakah dirinya jadi kurusan?

Ia menatap akan dadanya dan menyentuh perlahan.

Sentuh.

Diam.

Kedua tangannya meremas sekali, dua kali kepada dua gunung yang ada di dada tubuh tersebut.

Hmm. Besar juga.

Tapi ia membuka bawahannya dari jubah tidur yang dipakai saat itu juga.

...Oh tidak. Kebanggaannya tak ada.

Tunggu, dia ada di tubuh wanita?!

Lalu ia mencoba bicara. Suara tubuh tersebut luar biasa lembut. Astaga, kalau bicara pun pasti takkan terdengar.

Ia tes beberapa kali, dan memperbesar volume pita suaranya.

"Aiueo~ Oke, sudah pas. Tunggu, ini dimana? Jam berapa sekarang?"

Ia menoleh ke arah sekitar lagi dan merasakan angin pegunungan masuk ke dalam kamar dari ventilasi yang sedikit terbuka.

Tunggu dulu. Pegunungan?

Pintu terbuka, membuat dirinya refleks menoleh pada sumber suara yang membuka pintu geser ruangan pribadi tersebut.

Seorang perempuan berpakaian khas klan Gusu Lan masuk ke dalam ruangan dan menghampirinya sembari duduk di samping kasur. Nampan berada di tangannya, membawa sarapan sup sayur dan nasi beserta beberapa makanan yang vegetarian.

"Ruhi-Shijie! Syukurlah... Akhirnya kau bangun juga."

Tetiba saja, ia merasa kepalanya berdenyut hebat, membuatnya meringis kesakitan. "Ugh!.."

"Ruhi-Shijie! Kau kenapa??"

Suara panik itu jadi terdengar samar karena ia melihat di penglihatan dirinya tentang sesuatu.

Bagaikan sebuah rol film yang diputar, Rouhan melihat kehidupan seorang wanita yang tumbuh di Gusu. Wanita tersebut bernama Lan Ruhi, ia lahir yatim piatu dan diasuh oleh nenek yang memungutnya dari kebakaran desa di pinggir daerah Gusu, lalu diangkat menjadi cucu. Waktu umur 9 tahun, neneknya meninggal dunia karena usia dan Lan Ruhi mulai menjadi mandiri. Ia menjalani ujian saat berumur 20 tahun dan menjadi seorang guru pengajar murid wanita, yang terkenal cerdas dalam menulis puisi serta seni melukis. Sifatnya lemah lembut namun bertangan dingin serta antisosial ketika mengajar membuatnya disegani dan dirumorkan menjadi perawan tua. Waktu ia umur 25 tahun, Lan Ruhi mulai sakit-sakitan dan tak bisa mengajar selama 3 tahun.

Purple Lotus DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang