Hana berjalan dengan tergesa, ia terus mengamati satu demi satu ruangan bernomor.
Dibelakangnya ada Nindi, gadis itu sengaja menunggu dilobi agar ia bisa menemui Hana dan langsung membawanya menuju ruangan operasi.
"Dimana ruanganya, Nin?" desak Hana, ia sangat khawatir.
"201," jawab Nindi seadanya, ia khawatir takut Hana pisang ditengah jalan.
Hana bergegas, menyusuri lorong rumah sakit yang cukup sepi ini.
Hana bernapas lega, akhirnya ia bisa menemukan ruangan dengan nomor 201, ruangan paling ujung koridor.
Sesampainya disana, sudah banyak orang yang mengerumuni pintu operasi.
Tumit Hana melemas, kini kakinya terasa tak berpijak lagi diatas bumi.
Hati Hana bagai dicambuk ribuan kali apalagi mendengar seorang wanita paru baya tengah meraung-raung dengan memeluk suaminya.
Hana tahu, pasti itu kedua orang tua dari Bima.
Sedangkan seorang pria paru baya dengan setelan jas lengkap tengah menutup mulutnya saking tak percaya mendapati anaknya tengah berjuang didalam ruang operasi.
Hana terdiam dengan pikiran yang berkecamuk, semua pikiran buruk sudah memenuhi isi kepalanya.
Bagaimana kalau Gema tak selamat?
Hana berusaha menyusir semua pikiran buruk itu, Hana tak boleh berfikir seperti itu!
Yang ia harus lakukan adalah berdoa sebanyak-banyaknya, meminta kepada sang pencipta.
"Gimana kejadianya sih, Kak?" tanya Nindi pada Gibran, ia juga masih penasaran dengan ini semua.
"Gue gak tau pasti, tapi kata orang-orang yang bawa kesini, Gema ngejar Bima. Mungkin karna dia masih punya dendam akibat kejadian kemarin, dia pengen meluapkan emosinya. Tapi sayang, mereka berdua gak liat kalau ada mobil truk lewat," kata Gibran menjabarkan semuanya dengan jelas.
"Parah banget ya, kak emangnya?" tanya Nindi, ia masih sangat penasaran.
"Banget, motor Gema sama Bima sampe ringsek gak berbentuk," jawab Gibran.
Dada Hana mulai sesak, kedua matanya sudah sangat memanas hingga ia tak sadar air matanya tumpah begitu saja.
"Ini seharusnya gak terjadi," isaknya seraya memegangi dadanya yang sesak.
Nindi berusaha memeluk tubuh Hana, memberikan keteanangan pada gadis itu.
"Na, udah, lo jangan kaya gitu. Ini semua udah takdir," ucap Nindi mengelus punggung Hana.
Bibir Hana bergemetar, isakan tangisnya semakin menjadi.
"Tapi kenapa, Nin? Kenapa takdir terlalu kejam?" isaknya lagi.
Nindi melepaskan pelukanya pada Hana, gadis itu beralih mengusap air mata temanya itu.
"Na, semua itu sudah kehendak takdir."
"Takdir? Kenapa harus takdir yang kejam? Kenapa harus seperti ini? Gue takut Gema kenapa-kenapa Nin," kata Hana, tangisnya pecah kembali.
Nindi memeluk lagi tubuh Hana, bahkan kali ini lebih erat dari pada sebelumnya.
"Yang harus lo lakuin sekarang berdoa Hana, lo harus meminta sama sang pencipta agar Gema bisa selamat."
Nindi kembali mengelus punggung Hana yang bergemetar hebat, berikutnya ia mencoba membenamkan kepala Hana pada bahunya, biarkan saja gadis itu memsahi sweater abu-abunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Dari Neraka (END)
Novela JuvenilMeskipun Hana tak mengetahui apa yang terjadi, namun tatapan mata dari cowok yang baru saja menabraknya itu, mengisyaratkan bahwa ia tak boleh memberitahukan keberadaanya. Memang bukan masalah bagi Hana untuk menolong cowok itu, namun karna hal itu...