Chapter 3

17.6K 1.5K 14
                                    

13 April 2021


•••

"Jangaaaaaan!" Ungkapan panjang Rafardhan mengagetkan Javiera yang baru masuk, hingga wanita itu menatap kiri kanan, ia ambil sebuah pot kecil yang ada di sana, dan langsung menuju ke sumber suara yaitu dapur sumber suara tanpa berpikir opsi senjata lebih baik ataupun menghubungi polisi langsung.

Terlalu panik!

Namun, kepanikannya hilang melihat keadaan yang ada. "Eh?"

Yang ia temukan hanyalah Rafardhan yang bertekuk lutut di hadapan Wildan putranya, sambil memeluk Hitam yang dijadikan ikan-ikanan memakai sayur, berdiri di depan panci dan di tangan lain memegang spatula.

"Tolong jangan goreng ikan saya ...." Rafardhan tampak sesenggukan.

Wajah khawatir Javiera berubah dari khawatir bukan main, menjadi malas selayaknya wajah Hitam yang datar saat ini. Ia menepuk kening dan mendengkus frustrasi.

"Emang duda stres!"

"Pokoknya aku gak mau tau, aku ngambek! Papah salah beliin--eh Ibu Jeje," kata Wildan menyadari kehadiran Javiera ada di ambang pintu, Rafardhan yang cemberut pun ikut menoleh.

Rafardhan langsung berlari ke arah Javiera, lalu layaknya kehilangan mainan karena diambil teman, hingga sang anak lalu mengadu pada ibunya. "Je, liat Je, Wildan mau goreng ikan--eh kucing saya! Tega banget, Je! Bantuin Je bantuin!"

Javiera menatap dengan ekspresi dongkol pria itu, benar-benar malas sebenarnya ia menanggapi kepala keluarga yang kewarasannya di ujung tanduk bahkan tak ada.

"Ibu, jangan percaya Papah! A-aku gak mau goreng, kok, tapi dia--"

Javiera menatap Wildan, tersenyum hangat. "Wildan, sebenernya kenapa, Sayang?"

Wildan terdiam selama beberapa saat, perlahan lalu meletakkan Hitam di bawah dan kucing itu bahkan tak tahu menahu ngacir ke arah tempat makanannya.

"Hitam, kabur Hitam, kaburlah ...." Rafardhan menyemangati dengan haru 'anak'-nya yang bebas, Javiera geleng-geleng miris.

Dan keduanya terperanjat kala Wildan berteriak keras, anak itu menangis keras. "Hueeeee Bu Jeje, Pa-Papah masa beliin aku hadiah yang salah! Di-dia katanya janji beli, terus janji ingetin, ta-tapi ... hiks hiks ... tapi ...."

Mata Javiera menatap Rafardhan yang kini kikuk, membuang wajah ke atas tak berani melihat wajah Javiera yang kesalnya minta ampun. Javiera mendengkus, menarik tangan hoodie Rafardhan agar ikut dengannya menghampiri Wildan yang menangis dan sesenggukan. Rafardhan agak panik kala wanita itu melakukannya.

"Pa-padahal kan kalau janji harus ditepatin, kan, Bu? Ta-tapi Papah malah ... Papah malah ... hiks hiks." Javiera menurunkan badannya, mengusap puncak kepala Wildan berusaha menenangkan anak malang itu. Wajahnya sendu.

"Cup cup cup, bener, Sayang. Hust ... jangan sedih lagi, ya." Ia memeluk Wildan, yang mulai menenang.

Rafardhan mengelus dada karena ketenangan itu, dan tersenyum lebar. "Ah ... Jeje, memang benar kamu pantas banget jadi ibu sambung Wildan."

Mata Javiera menatap dengan tatapan pembunuh pada pria itu, yang langsung mundur selangkah. "Nanti pasti Papah kamu ganti hadiahnya, ya, Sayang. Tenang aja, ya." Dengan masih menatap Rafardhan dengan penuh ancaman Javiera berkata, lalu tersenyum bengis. "Iya, kan, Pak Rafardhan. Bakal diganti, kan?"

Jelas kalau begini, Rafardhan pasti diharuskan menggantinya, daripada nanti dia kena ... Rafardhan bergedik seram.

Wildan kini lepas dari pelukan Javiera, masih ada sisa-sisa kesedihan, tatapan begitu sendu dan berkaca-kaca, air matanya diseka lembut oleh wanita cantik itu bersama senyuman penuh sayangnya. "Hust ... hust ... hust ...."

"Be-beneran, Bu?"

"Iya, beneran kan, Pak Rafardhan?" Javiera menatap Rafardhan lagi dengan senyuman andalannya.

Rafardhan menyengir miris. "I-iya, Sayang. Bakalan Papah ganti. Sekarang pun boleh, lho, soalnya kan tokonya buka dua puluh empat jam. Ayo, mau sekarang?"

"Cepetan!" Wildan merengut sebal.

"Ibu juga ikut sama kalian, ya. Buat mastiin kalau hadiah yang kamu pengen beneran dibeliin." Rafardhan kini antara dua, senang dan merasa itu akhir hidupnya jika melakukan kesalahan, hingga kini hanya bisa tersenyum paksa. "Ya udah, ayo siap-siap."

Wildan mengangguk dan beranjak menuju kamar sementara Javiera kini menghadap Rafardhan lagi. Entah berapa kali dia menggeleng miris pada pria ini.

"Ya Tuhan ... ada aja bapak-bapak kayak kamu." Javiera memijat keningnya, pusing. "Kamu tahu, enggak seharusnya nebar janji sama anak-anak, dan enggak nepatin itu. Itu bikin otak mereka merekam, untuk tidak mempercayai omongan orang lain, dan menganggap apa yang kamu lakukan semuanya bohong. Hanya omong kosong. Kamu bisa aja menghancurkan harapan mereka pada kamu. Sebagai orang tua, pelajaran penting adalah kejujuran! Jangan menghancurkan kepercayaan mereka!" nasihatnya.

"Ya-ya maaf ... saya sebenernya udah beliin hadiahnya, cuman salah ... hehe ...." Rafardhan tertawa sumbang. "Tapi ini kali pertama doang lho, suer, saya sibuk kerja jadi lupa! Maaf!"

"Minta maafnya bukan sama saya, sama Wildan sana." Javiera menghela napas. "Kamu kerja apaan, sih, emang? Sesibuk apaan?"

Rafardhan menyengir lebar. "Mau tau aja atau mau tau betul?"

Javiera memutar bola mata, memperhatikan Rafardhan dari atas ke bawah. Apa pekerjaan yang membuat seseorang memakai hoodie begini? Tetapi ia sadar tak boleh menilai seseorang dari penampilan. Rafardhan memang tinggal di perumahan yang lumayan elite kelas menengah, ia punya mobil, dan kehidupan yang kelihatan makmur. Lumayan kaya.

"Oh ya tadi Wildan pengen mainan apa?"

"Oh itu ... apa ya?" Javiera mendengkus, ternyata otak pria ini masih konslet. "Pokoknya kayak perlengkapan cosplay atau apa gitu? Jadi Benedict Cumberbatch, aktor itu kamu tahu?"

"Oh, pemeran Sherlock Holmes?"

"Nah, iya, Sherlock!" Rafardhan lalu mengangkat tas besar di tangannya. "Tapi temen saya salah, malah Dr. Strange, jadi perlengkapan sihir gini yang kebeli."

Javiera agak kaget, terlebih melihat tag uang di sana, ini lumayan mahal. Hebat juga bisa membelikan pernak-pernik bahkan Javiera ingat satu action figur saja hampir sejuta. Semoga saja tidak berhutang.

"Padahal bagus-bagus, ya. Ya kalau dia gak mau, mending buat koleksi saya aja." Rafardhan menyengir, menatap Javiera yang kelihatan tertarik dengan apa yang dipegang Rafardhan. Rafardhan tersenyum menggoda. "Kenapa? Kamu mau action figurnya?"

Javiera tersadar dari lamunan, pun menggeleng. "Gak, gak perlu." Ogah menerima dari orang tak waras sekalipun itu bisa masuk koleksinya.

"Gak papa, ambil aja kali kalo mau."

"Gak, gak perlu." Javiera bersikeras.

"Oh, ya udah ...." Dan Javiera agak menyesal, harusnya Rafardhan memaksanya tadi! Menyebalkan! Rafardhan kini meletakkan benda itu di lantai. "Hah ... abis dua kali lipat duit saya buat beli lagi, nih."

Ternyata masih memikirkan uang, berarti mungkin Rafardhan tidak sekaya itu. Namun kenapa Javiera memikirkan status Rafardhan? Toh tidak penting.

"Kamu ini, Pak. Kucing ampe puluhan juta pernak-perniknya gak ngeluh, tapi sama anak ngeluh, hadeh ...." Javiera memutar bola mata.

Dan Rafardhan malah cengengesan, lho berarti benar? Bapak macam apa ini!

"Bu, Papah, aku udah ...." Wildan kini hadir di antara mereka.

"Ya udah, ayo cus ke sana!" Rafardhan berlari ke arah pintu layaknya anak kecil.

Hal yang membuat Javiera dan Wildan yang kelihatan lebih baik bertukar pandang, kemudian geleng-geleng miris berdua.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang