Chapter 35

5.8K 671 33
                                    

15 Mei 2021


•••

Javiera menatap wajah Rafardhan, ada perasaan tak percaya yang hadir meski ia tutupi dengan amarah. Tak ada wajah ceria atau idiot oleh pria itu lagi, melainkan wajah datar yang kentara, tak ada sepatah kata lagi keluar setelah itu dan Rafardhan langsung berbalik, masuk ke mobilnya meninggalkan Javiera, benar-benar meninggalkan wanita itu sendirian di depan rumah Anton yang kosong.

Ekspresi Javiera seketika panik, apa ucapan Rafardhan sungguhan?

Namun, segera ia tepis rasa itu, toh kalaupun sungguhan ia tak masalah. Karena memang ini yang ia inginkan, ya. Rafardhanlah pun juga bersalah atas apa yang terjadi saat ini.

Kemudian, wanita itu menyeka air matanya, menatap rumah Anton untuk terakhir kali. "Oke ... mungkin dia bukan jodoh kamu, Javiera." Ia berkata pada diri sendiri. "Selamat tinggal, ya, Anton."

Wanita itu mencari tumpangan, cukup kesulitan meski akhirnya ia mendapatkannya hingga akhirnya ia berhasil pulang ke rumah. Sejenak ia menatap ke rumah Rafardhan yang sudah terparkir mobil di sana, tetapi segera menggeleng dan masuk. Beberapa langkah ke dalam ia baru sadar ia telah melupakan sesuatu.

"Ah ... mobilku ...." Javiera mendengkus pelan, karena banyak pikiran ia sempat lupa dengan mobilnya yang bisa diambil sore ini. Segera wanita itu menghubungi pihak bengkel, memastikan mobilnya bisa dijemput.

Syukurlah, masih ada waktu Javiera mengambilnya.

Buru-buru wanita itu membersihkan diri, mengganti seragam dinas dengan pakaian santai, sebelum akhirnya keluar menunggu ojek online yang ia pesan. Ditemukannya, Rafardhan yang tengah sibuk mengurusi Hitam serta Wiskes di halaman. Berbincang layaknya dua kucing tersebut anak kandungnya.

Pasti pria itu akan melakukan sesuatu ....

Namun, dugaan Javiera salah, Rafardhan benar-benar cuek bebek, seakan Javiera tak terlihat dan terlalu asyik bersama kucingnya, yang tak lama pun masuk meninggalkan Javiera tanpa sekali pun melirik wanita itu. Terkejut? Tentu saja! Akan tetapi Javiera sadar, kan memang inilah yang ia inginkan.

Bodohnya dia.

Jemputannya pun datang, Javiera masuk ke bangku penumpang.

"Sesuai titik ya, Pak."

"Baik, Bu."

Mobil pun berjalan menuju bengkel, Javiera bahagia melihat mobilnya sudah membaik, dan kini wanita itu membawa pulang mobilnya kembali ke tempatnya. Saat keluar mobil, ia lihat ada Rafardhan lagi yang tengah membuang sampah keluar rumah.

Masih seperti tadi, tak ada sapaan tak ada tolehan, Javiera benar-benar dianggapnya invisible, hingga pria itu masuk lagi ke rumah.

"Tu dia serius ... sekaligus ngibarin bendera musuhan kali, ya?" tanya Javiera pada diri sendiri, pun wanita itu masuk rumah, tak mengindahkan pemikirannya tentang Rafardhan yang masih saja tak bersuara apa pun padanya.

Bahkan hingga esok pagi, Javiera keluar dari rumah, Rafardhan pun juga keluar, pria itu memakai jas dan berkacamata hitam. Kharisma berkali lipat karena terlihat dewasa dan tampan, rambut hitam rapi bersama rahang tegas dan hidung mancungnya, Javiera menggeleng tak ingin jatuh akan pesona itu. Namun anehnya, ia tetap memperhatikan. Rafardhan yang menggendong dua kucingnya, menuntun Wildan masuk mobil, dan dirinya menyusul setelah itu.

Javiera menghela napas, benar-benar tidak ada sapaan pagi untuknya? Ia menggeleng, memang apa pentingnya? Wanita itu lalu masuk ke mobil, menjalankannya dengan kecepatan sedang menuju sekolah. Nyatanya Rafardhan pun masih ada di sana, di mana Wildan keluar mobil kemudian berpamitan dengan Rafardhan.

Javiera memperhatikan mereka, Rafardhan yang mulai pergi bersama mobilnya dan Wildan yang masuk sekolah.

Javiera terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengejar Wildan.

"Wildan!" panggil Javiera.

Wildan berhenti, pun menoleh ke arah Javiera, ia tersenyum biasa. "Ada apa, Bu?" tanya anak itu.

Ada hawa yang berbeda dari Wildan, Javiera entah mengapa merasa ... Wildan sudah tak mengistimewakannya. Atau hanya perasaannya? Apa Wildan tahu yang terjadi? Ia ada di mobil saat itu, kan?

Faktanya, memang Wildan tahu apa yang terjadi, saat itu kala ayahnya dan Javiera berbicara, sama-sama emosi, sebelum akhirnya ayahnya memutuskan pergi.

"Papah ... Papah marahan sama Bu Jeje?" tanya Wildan, ada nada kekecewaan di sana.

Rafardhan mendengkus, meski kemudian menghela napas, berusaha sabar. "Papah enggak bisa bersama wanita yang bahkan enggak percaya sama Papah. Dan lagi, itu keputusan dia, pengejaran Papah cukup sampai di sini, Papah udah capek."

Wildan yang mendengarnya syok, meski demikian ia memahami ekspresi ayahnya. Ia tak suka ayahnya bersedih.

"Maaf Papah labil, Wildan. Maaf karena enggak bisa ... enggak bisa memberi kamu Ibu sambung lagi ...."

Wildan tersenyum kecut. "Enggak papa, kok, Pah. Aku dari awal kan enggak maksa, begitu juga Papah, kan?"

Rafardhan tersenyum, ia bangga dengan putranya yang dewasa itu.

"Dari dulu juga cuman kita bertiga aja, aku, Hitam, Papah, semuanya bahagia. Tambah Wiskes, keluarga kena bahagia kok." Meski tentu masih ada sisa-sisa harapan soal itu, tetapi mengetahui Bu Jeje mudah menyalahkan dan tak mempercayai ayahnya.

Ia tak ingin begitu.

"Oh ya mungkin abis ini Papah bakalan buka shelter, sesuai janji Papah sama seseorang." Rafardhan memberitahu rencananya. "Menurut kamu gimana?"

"Bagus, Pah! Aku nanti ikutan, ya!" Wildan terkikik bahagia.

Keluarga kecil itu kembali ceria meski masih agak bersedih akan apa yang terjadi hari ini.

"Wildan ...."

"Iya, Pah?" Wildan menjawab panggilan lirih ayahnya.

"Sekalipun hari ini menyakitkan, tapi jangan bikin hari ini alasan buat nyakitin orang lain, ya?" Orang lain yang Rafardhan maksud adalah Javiera sendiri. "Papah mungkin bakalan cuekin Bu Jeje, demi mental Papah, tapi kalau dia kesusahan atau ada hal lain ... kita harus tetep bantu dia."

"Iya, Pah. Aku paham." Keduanya saling melemparkan senyuman.

Dan di sinilah Wildan sekarang, berhadap-hadapan dengan Javiera yang bingung, setelah memanggil Wildan apa yang harus dilakukan? Karena alasannya pun tak ada, wanita itu sempat ingin bertanya kenapa Rafardhan begitu cuek, tetapi harusnya ia sendiri tahu jawabannya, dan ia malu akan hal itu.

Sekarang Javiera bingung.

"Ah, iya, Wildan ... apa kabar kamu?" tanya Javiera, tersenyum lebar berharap wajah gugupnya tak terlihat.

"Baik, Bu. Emang ada apa, Bu?"

Javiera berdesis, memejamkan mata selama beberapa saat. "Eng-enggak papa, Wildan. Masuk kelas, pinter-pinter belajarnya, ya, Sayang."

Wildan tersenyum. "Siap, Bu!" Ia pun berbalik, melangkah pergi begitu saja.

"Huh ... astaga Je! Kamu ngapain tadi?" Javiera merutuki dirinya.

Sekarang ia dan Rafardhan--dan sedari dulu--sudah memutuskan apa pun di sekitar mereka. Namun bukan berarti Javiera memutus ikatannya dengan Wildan. Semoga saja Wildan yang ia rasa berubah biasa saja, dan berharap itu hanya perasaannya, bukan karena imbas Javiera dan Rafardhan tempo itu. Hal yang masih ia yakini Rafardhan bersalah dan tak mau mengakui kesalahannya.

Ia tak tahan kalau tanpa Wildan.

Semoga saja tidak.

Memijat keningnya, Javiera lalu masuk ke area sekolah, menuju kantornya dan memulai aktivitas seperti biasa.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang