Chapter 11

8.9K 855 26
                                    

21 April 2021

•••

"Mama mia!" kata Rafardhan, usai ia selesai menyantap sarapan buatan Javiera, semua makanan di atas meja sudah habis tak bersisa dan Rafardhan mengecap bibir terakhir kali. "Manteplah!"

"Hah ...." Javiera menghela napas panjang melihat pria itu, matanya kini melirik ke arah kakinya yang masih diperban. "Udah minum obat?"

"Hm ... nih mau." Rafardhan menatap putranya, Wildan yang sudah bersiap-siap. "Ambilin obat Papah."

"Siap, Papah!"

Wildan sigap mengambilkan obat dan menyerahkannya ke Rafardhan.

"Javiera, ambilin minum dong!" Javiera memutar bola mata, mengambilkan apa yang diinginkan Rafardhan, dan pria itu pun meminum obatnya. "Hah ... alhamdulillah ...."

"Ya udah, Wildan, kamu ikut Ibu aja ke sekolahnya, ya? Papah kamu mungkin perlu istirahat, apalagi abis minum obat, takutnya ngantuk."

"Eh, masa aku ditinggal sendiri?" Rafardhan tak terima, merengutkan bibir.

"Kondisi kaki kamu kan sudah membaik, pasti gak bakal kenapa-kenapa, kan? Kamu mau nyetir mobil sendiri gitu?" Javiera mengangkat sebelah alis.

"Enggak gitu, sih, cuman ya ... aku keknya harus ngambil mainan Wildan, dia keliatan sedih banget kalau gak diambilin. Ya kan Wildan?" Wildan mengangguk sendu. "Atau kamu yang mau ngambilin?" tanya Rafardhan meminta penawaran.

"Prosedurnya harus orang tua yang ngambil, lagian mainan Wildan enggak akan hilang kalau di tangan komite." Javiera memberi alasan.

"Hm masalahnya aku gak enakkan, kasian Wildan, aku harus tetep ke sana." Rafardhan pun berdiri dari duduknya, tetapi duduk lagi karena pria itu meringis kesakitan. "Duh ...."

"Hah ... gini aja." Javiera memutuskan, iba melihat keduanya. "Kamu ikut aku, entar juga kuantar pulangnya."

Senyum Rafardhan melebar. "Wah, makasih banyak, Jeje." Ternyata kamu peka juga, begitu ungkapan yang ditambahkan Rafardhan di hati.

"Ya udah, ayo!" Javiera dan Wildan pun membantu Rafardhan berjalan, menuju kamar pria itu untuk Rafardhan memakai jaket hoodienya, sebelum akhirnya keluar. Javiera masuk lebih dulu ke mobil untuk berhenti di teras Rafardhan di mana ada Rafardhan dan Wildan di sana, setelahnya mereka masuk juga.

Wildan duduk di bangku belakang, sedang Rafardhan di samping Javiera.

"Lho, kenapa kamu yang di depan?" tanya wanita itu, agak kesal.

Rafardhan berdesis. "Udah kelanjur, aku susah pindah-pindah, nih."

Javiera mendengkus, menoleh ke Wildan. "Wildan, pake sabuk pengaman kamu, ya."

"Siap, Bu!" Wildan memasang sabuknya.

"Aku gak diingetin?" Rafardhan menatap sedih.

"Gak usah, biar terbang aja kamu ke laut." Rafardhan merengut, sedang Wildan menertawakan ayahnya, pria itu lalu memakai sabuk pengaman disusul Javiera.

Javiera menjalankan mobil dengan kecepatan stabil, tak ada percakapan pasti di antara mereka selama beberapa saat. Wildan fokus ke aktivitasnya, Javiera menyetir, dan Rafardhan menatap Javiera yang menyetir.

Ditatapnya sedemikian rupa ....

"Suatu hari nanti, kamu gak perlu nyetir mobil sendiri," kata Rafardhan tiba-tiba, Javiera menoleh sekilas dengan bingung. "Karena aku yang akan ada di sana."

"Kamu mau jadi sopirku?" tanya Javiera, tertawa mengejek.

Rafardhan berdecak. "Gak paham."

Javiera masih tertawa, jelas ia paham Rafardhan tengah menggombalinya, Javiera tak sepolos itu. "Ya udah kalau mau jadi sopirku, gajinya lima ratus perak."

"Heh, itu namanya penistaan, entar kudemo kamu!" Rafardhan tak terima. "Tapi kalau gajinya bukan uang, tapi ehem ehem uhuk, uhuk ehem ehem, gak papa." Pria itu cengengesan.

"Jangan ngomong yang enggak-enggak!" Javiera terlihat tak nyaman.

"Aku lagi ngomong yang iya iya iya."

"Kucubit kaki kamu yang diperban nih?" Rafardhan langsung kalap melindungi kakinya. "Diem aja kek kayak Wildan, jadi anak pinter."

"Tapi kan aku bukan anak-anak, aku bapak-bapak yang udah bisa bikin anak." Rafardhan sok polos.

Javiera tersenyum lebar. "Kubikin kamu gak bisa bikin anak lagi, gak papa kan?" Senyum lebar ala dewa kematian yang menciutkan Rafardhan, lagi dan lagi Wildan dibuat tertawa.

"Heh, kamu ketawa-ketawa, mau kamu gak bisa punya adik?" Rafardhan kini menegur Wildan, Wildan masih saja tertawa begitupun Javiera yang kini diam-diam mengulas senyum.

"Gak ah, entar adikku jelek kayak Papah, harusnya kan cakep kayakku sama Mamah."

Mata Rafardhan membulat sempurna. "Heh, kamu itu ganteng kayak Papah, sadar kamu? Kegantengan kamu nurun dari Papah, walau cuman seupil, karena kegantengan Papahlah yang satu idung."

"Hoaks! Yang asli ada Mamah Lodehnya!" Wildan menjulurkan lidah.

Ayah dan anak ini punya hawa keceriaan.

Tak lama, mereka kini sampai di sekolah. "Wildan, kamu langsung ke kelas aja, ya."

"Iya, Bu." Wildan menyalimi keduanya sebelum akhirnya pergi bersama teman-temannya yang lain ke sekolah.

"Kamu ikut aku." Javiera membantu Rafardhan berdiri.

"Kita ke KUA, ya?" tanya Rafardhan.

"Bukan, TPU." Javiera memutar bola mata. "Kita ke kantorku, ngambil mainan Wildan, lupa kamu?"

"Ah, iya, gomen gomen." Javiera menatap aneh Rafardhan. "Ya udah, kuy!"

Javiera pun membantu Rafardhan berjalan menuju kantornya, tanpa menyadari jika ia kini menjadi pusat perhatian banyak orang. Tentu saja mulut ke mulut mulai menggosipkan apa yang mereka lihat, dikaitkan dengan kontroversi ajakan nikah waktu itu, sampai akhirnya mereka sampai di kantor Javiera.

Di sana ada seorang guru muda lain yang ada. "Bu, tolong ambilin mainannya Wildan kemarin, bisa?"

Wanita itu mengangguk, menuju ke ruangan lain yang ada di sana, tetapi melihat apa yang terjadi di sisi di mana Javiera dan Rafardhan berada. Javiera mulai mendudukkan Rafardhan ke kursi yang tersedia di sana.

"Ah ... akhirnya duduk juga ... capek banget ...."

"Harusnya aku yang capek lho ngangkat beban kamu, aneh aneh aja." Javiera geleng-geleng miris. "Badan kamu gede masa kalah sama badanku?"

"Justru badan gede bebannya juga gede, lagian aku dalam pengaruh obat kan? Wajar, ngantuk." Javiera hanya menghela napas malas mendengarkan penjelasan Rafardhan. "Ya udah mana nih mainan Wildan?"

"Tunggu sebentar lagi, Pak Rafardhan. Sabar-sabar ...."

"Gak perlu pake embel-embel pak, lah. Lagian sepi gini." Rafardhan menaik turunkan kedua alisnya.

Javiera menatap dongkol. "Enggak sesepi itu, Pak Rafardhan."

Rafardhan mendengkus. "Panggil Mas lebih enak."

Dan guru yang tengah mengambil mainan Wildan terperanjat, ia sebenarnya bisa mengambil dengan cepat jika saja tak menguping pembicaraan dua insan itu, kekagetannya membuatnya menjatuhkan bingkisan di tangan hingga Rafardhan dan Javiera menoleh ke sumber suara ruangan tadi.

"Astaga ...." Dan salah satu action figur dari bongkar pasang rusak begitu saja. "Duh ... gimana ...."

"Bu, ada apa?" Javiera berdiri, beranjak untuk melihat keadaan temannya itu.

"Je, tungguin!" Rafardhan berusaha menyusul dengan susah payah dan Javiera malah masuk ke ruangan itu juga.

Kala Rafardhan berada di ambang pintu, pria itu terkejut bukan main melihat pemandangan yang ada. Mainan putranya kini ada yang rusak ... dan bayangan Hitam yang ditawan oleh  Wildan terbayang-bayang di kepala.

"Tidaaaaaak ...." Rafardhan berkata pelan meski dengan nada lebay yang panjang.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang