Chapter 41

6.8K 725 59
                                    

21 Mei 2021

•••

"Aku minta maaf atas segala hal itu, aku nuduh kamu sembarangan, aku menyakiti hati kamu, aku ... aku ... pokoknya segalanya!" Javiera tampak frustrasi, menggeleng pelan, wanita itu gemetar menahan tangisannya.

Rafardhan iba melihat itu, tetapi di lubuk hatinya, masih ada sobekan yang terlalu lebar di sana. "Yah, sudahlah, saya sudah tidak masalah." Ia memaksakan senyum. "Jangan dipikirkan lagi, Javiera. Saya permisi dulu." Rafardhan berbalik, dan baru selangkah ke depan ia terhenti lagi.

"Enggak, kamu gak bener-bener bisa maafin aku, kan?" Javiera angkat suara, begitu parau.

Rafardhan sedikit menoleh. "Saya sudah maafin kamu, tapi saya perlu waktu buat self healing. Itu bukan perkara besar, itu masalah saya sendiri."

Javiera menggeleng. "Itu hal yang sama, Rafardhan. Dan tandanya, kita enggak bisa balik kayak dulu lagi ...?"

Rafardhan menatap ke depan, tersenyum miris. "Balik lagi kayak dulu? Kayak dulu gimana?" tanyanya dengan nada sarkastik.

Dan ia terkejut, karena kini Javiera memeluknya dari belakang, begitu erat.

"Aku selama ini bermuka tembok, aku menepis segala hal yang dibilang hati kecilku cuman karena daftar tipe yang aku pengen, aku menepis segala rasa yang sebenarnya ada. Di sini, di dadaku, di lubuk hati terdalamku." Rafardhan terdiam, apa yang tengah dibicarakan Javiera? Wanita itu ... tidak sedang ngawur kan? Rafardhan tahu tapi tetap seakan tak tahu. "Aku sayang sama kamu ...."

Dada Rafardhan bergemuruh, terlebih kini terdengar isakan di belakangnya.

"Aku minta maaf, Rafardhan. Aku sayang sama kamu ...."

"Javiera." Rafardhan memanggil, mendiamkan Javiera seketika. "Tolong lepaskan pelukan kamu, saya harus mengantar Wildan sama anak-anak sekarang."

Dan mau tak mau, Javiera melepaskan pelukannya, ia semakin sedih karena menyadari ... apa segalanya sudah terlambat?

"Apa aku udah terlambat, Rafardhan?"

Rafardhan diam, ia tak tahu jawabannya, hatinya terlalu tak keruan dan pikirannya sekarang kacau.

"Kalau udah terlambat, aku gak masalah, aku gak malu mengungkapkan apa yang hati kecilku bilang ke kamu karena aku ... aku gak mau lagi egois dan membohongi diri sendiri, aku bakalan lapang dada menerima akan hal itu ...." Javiera memaksakan senyumannya, meski sakit, bahkan Rafardhan tak mau menoleh ke arahnya. "Tapi seenggaknya, aku akan tetap berusaha, mendapatkan maaf yang tulus dari kamu, Rafardhan."

Setetes air mata jatuh dari mata Rafardhan, dipegangnya dadanya yang terasa amat perih, tetapi pria itu segera berjalan menjauh meninggalkan Javiera begitu saja. Meninggalkan si wanita yang masih terisak pelan, kesedihan yang dominan karena ia ... sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Kini, Rafardhan sampai menghampiri anak-anak, menyembunyikan rasa kalut dan sedihnya dengan senyuman hangat. "Ayo masuk, kok belum pada masuk?"

"Iya, Om." Mereka pun masuk ke mobil, kecuali Wildan, anak semata wayangnya itu menatap wajah Rafardhan sedemikian rupa.

"Wildan, kamu gak masuk?"

Wildan masih diam, Rafardhan menatapnya dengan sedikit terkejut, apa putranya memahami ekspresinya? Wildan punya sifat yang sudah cukup dewasa sekalipun usianya baru 8 tahun.

"Wildan ...." Rafardhan memanggil dengan nada manis, menyengir lebar, berharap itu bisa menutupi ekspresi aslinya.

Namun, tak berlaku tampaknya bagi Wildan, meski demikian anak itu tetap masuk ke mobil kemudian. Rafardhan menyusul di bangku sopir, setelahnya ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Sebelum pulang, mereka berhenti di kedai bakso langganan mereka, Rafardhan seperti kemarin mentraktir anak-anak itu. Tukang bakso tampak kenal baik dengan anak-anak saat melayani mereka.

"Eh, Bang Gaege mana, nih?" tanya tukang bakso itu.

"Sibuk skripsi, Pak," kata salah seorang teman Wildan. "Jadi kami dijemput ayahnya Wildan, deh. Om Rafardhan."

"Ouh, ini ayahnya Wildan, salam kenal, Pak Rafardhan."

Rafardhan mengangguk. "Saya jangan pake kol ya. Anak-anak keknya seperti biasa, kan?" Anak-anak mengangguk. "Nah."

"Sip sip!" Ia mengacungkan kedua jempolnya dan mulai menyiapkan pesanan mereka.

Rafardhan tersenyum hangat, menatap anak-anak yang terlihat bahagia, tetapi senyumnya mulai memudar melihat wajah sendu putranya sendiri. Rafardhan menoel pipi Wildan.

"Kamu kenapa, sih, Wildan?" tanyanya bercanda, meski tampaknya ia sendiri tahu jawabannya.

Wildan menggeleng pelan. "Aku enggak papa, kok."

"Jujur sama Papah, Sayang. Kamu kenapa?" Rafardhan mengaitkan tangan ke bahu putranya dengan akrab. "Papah kepo, nih. Kok tiba-tiba anak Papah yang ganteng banget ini tiba-tiba murung, kenapa hayooo?"

"Papah pinter banget ya nutupin masalah sendirian." Pernyataan Wildan seakan menusuk dada Rafardhan, mengobok-oboknya dengan kenyataan yang menyakitkan. "Ini sifatku yang nurun dari Papah." Lagi, tusukan kedua.

Tak ada yang mendengar percakapan ayah dan anak itu, hanya mereka berdua, tukang bakso sibuk mengurus pesanan dan anak-anak sibuk ke aktivitas masing-masing. Kedua ayah-anak itu diam seribu bahasa, dan saat mendapatkan pesanan mereka, mereka pun mulai makan bersama.

Meski tak berselera, keduanya makan lahap, lagipula rasa bakso terlalu enak untuk tidak berselera.

Setelah makan bakso bersama, Rafardhan memulangkan anak-anak, sebelum akhirnya ia pulang ke rumahnya. Siapa sangka, baru sampai di teras rumah, Wildan buru-buru keluar mobil dan berlari masuk ke rumah.

"Wildan!" Rafardhan memanggil putranya itu, ikut masuk bersama kucingnya yang mengekori menuju kamar Wildan, anak itu langsung berbaring di kasurnya. "Kamu kenapa, sih, Wildan? Papah ada salah apa?"

Wildan menatap ke ayahnya yang mulai menghampiri, duduk di sampingnya.

"Wildan ...."

"Papah enggak ada salah, kok." Wildan menjawab, suaranya parau.

"Papah ragu ...." Rafardhan menatap dengan sendu. "Jujur sama Papah, Wildan. Ada apa?"

"Aku ...." Wildan menggantung kalimatnya, ada yang tertahan di kerongkongan.

"Apa?" Ayahnya mengusap puncak kepala Wildan. "Apa, Wildan?"

"Aku liat ... Papah sama Bu Jeje tadi." Mata Rafardhan membulat sempurna.

"Kamu ngintipin Papah? Kamu juga denger semuanya?"

Wildan terisak, dan perlahan mengangguk. Rafardhan langsung menarik anaknya ke pelukannya. "Udah, hust hust hust ... kenapa kamu lakuin itu, Wildan. Kamu harusnya gak boleh lakuin itu." Dan sekarang, Wildan pasti kepikiran soal masalah dewasa begini.

"Aku sedih dengan hiks hiks keadaan kalian ... hiks hiks ... kayak sinetron!" Wildan menaikkan nada tangisannya. "Papah gak bisa maafin Bu Jeje karena sakit hati, bahkan utarain cintanya, cinta Papah terbalas tapi Papah gak bahagia lagi akan hal itu sekalipun Papah pasti masih punya rasa, aku tau Papah cinta banget sama Bu Jeje. Dan Bu Jeje, dia telat dan pasti ngerasa sangat bersalah, merasa hancur karena kesalahan dia sendiri. Cinta orang dewasa ribet!"

"Astaga ... Wildan, udah gak usah dipikirin, kami udah gak papa, kok. Astaga ...." Ia berusaha menenangkan putranya. "Udah, ya, Sayang. Udah. Cup cup cup."

Wildan masih terisak di pelukan ayahnya yang masih berusaha menenangkan dan syukurlah, Wildan mulai menenang. Terlihat juga, Wildan mulai mengerjap-ngerjapkan matanya, terlihat mengantuk.

"Tidur ya, hust hust hust ...." Rafardhan memeluk putranya lebih erat. Pria itu memejamkan matanya seraya menghela napas.

Semoga saja Wildan tak terseret terlalu jauh dalam drama percintaan klise ini.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang