29 April 2021
•••
"Well ... kamu suka cerita sad-sad?" tanya Rafardhan, pertanyaan yang sejenak membingungkan tetapi Javiera sadar, apa masa lalu Rafardhan menyedihkan? "Takutnya ganggu suasana makan malam, sih."
"Kalau kamu keberatan, enggak perlu, Rafardhan." Ia takut membuka luka lama.
Namun, Rafardhan tertawa, pengenalan ini justru bagus untuk mereka mengenal satu sama lain, terbuka di waktu ini biar nanti enak kala terbuka di malam pertama. "Ya enggak papa, sih. Gak sesedih itu, cuma yah dulu aku ini anaknya ... gimana ya? Bebal enggak, baik juga enggak, punya bakat enggak, skill juga enggak, nilai pas-pasan, olahraga pas-pasan, apa yang simpelnya ... murid standar."
Standar?
"Gak punya prestasi apa pun, dan selalu ngerasa dinomorduakan, walau emang nomor dua karena anak kedua." Rafardhan kembali tertawa. "Maksudku well, aku ngerasa gak diperhatikan karena aku gak berguna, orang tuaku di mataku selalu menggebukan kakakku doang, kakak kakak kakak, aku kayak bayangan doang."
Tampak wajah Rafardhan menyendu, Javiera bersimpati.
"Dan saat itulah, anak introvert dan gak bisa apa-apa ini mulai berusaha membuktikan kalau dia layak pengakuan. Dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa perlu jadi bayangan. Opsi lucu yang kuambil, kabur dari rumah." Rafardhan tersenyum geli. "Jujur, entah apa yang ada di otakku, kok ya kabur? Duit cuman seumprit, pengalaman gak ada, sok-sokan kabur, dan yah alhasil aku jadi gembel di jalanan."
Entah kenapa cerita Rafardhan agak menarik, dan aneh.
"Orang tua kamu gak nyari?"
"Nyari, sih. Beberapa hari doang aku udah mereka temuin." Rafardhan ngakak sendiri. "Ya namanya anak gak tahu menahu jalan, jelas ke mana bingung dan gak ada keberanian, jadi ya kepergok."
Perubahannya mana?
"Tapi, sebelum ditemuin, aku ketemu sama seorang pria, yang bantu aku dalam keterpurukan." Wajah Rafardhan menyendu, ada siratan kesedihan meski bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Senyum kehampaan. "Dia yang bantuin aku jadi seperti sekarang, salah satu penyemangat hingga aku jadi Rafardhan yang sekarang, dia juga yang ... ngajarin aku banyak hal dan punya banyak teman. Dia ngasih aku makan, ngasih aku kerjaan, ngasih aku tempat tinggal, dan yang paling berharga dia ngasih aku arti keluarga sesungguhnya."
Tampaknya orang yang diceritakan Rafardhan adalah orang yang sangat berjasa dalam cerita lika-liku hidup pria itu.
"Rest in peace, Bang Victor ...."
Rest in peace ...?
"Aku ... turut berduka atas kepergian dia. Dia kedengerannya orang yang baik dan sangat berharga bagi kamu."
"Yap." Rafardhan mengangguk. "Sangat berharga, dia udah kayak istri pertamaku, you know." Rafardhan cengengesan sedang Javiera menatap aneh.
Pria ini punya perumpamaan yang sangat ambigu.
"Tapi mungkin lebih tepat sosok ayah, ya gitulah." Nah, perumpamaan yang jauh lebih baik. "Dia salah satu dari sekian banyak orang yang kusayang, kayak keluarga dekatku, orang tua, kakak, Wildan, Hitam, Wiskes, mendiang istriku, dan keluarga satu perjuanganku."
Terlepas dari itu, Javiera juga penasaran dengan sosok mendiang istri Rafardhan. Ia tak pernah melihat fotonya dan tak tahu rupanya, hanya tahu namanya saja dari formulir Wildan dulu.
"Ah ... begitu ...." Javiera menyunggingkan senyum simpati.
"Oh ya istriku juga dulu keluarga satu perjuangan denganku, dia senior." Rafardhan tampak mengingat-ingat masa lalunya. "Masa-masa indah sama dia, sampai ... penyakit itu merenggut kehidupannya. Dia meninggal tepat setelah melahirkan Wildan."
Mata Javiera membulat sempurna, benar ... sangat menyedihkan ....
"Wildan ...."
"Masa-masa berat bagi Wildan kecil, kamu tahu, lahir tanpa ibu. Awalnya sebenarnya ... aku yakin bisa membahagiakan Wildan meski sendirian, tanpa ibunya, sesuai janjiku pada dia. Tapi, saat usianya sekitar empat atau lima tahunan, baru masuk TK, itu kali pertama dia bertanya: di mana ibunya? Semenjak saat itu Wildan gak seperti biasanya. Wildan mulai punya teman imajinasi, dan teman imajinya itu ... seakan ibunya sendiri, dia selalu berpikir ada yang nyanyiin dia tidur dan hal yang biasa dilakukan seorang ibu. Kondisinya katanya mengkhawatirkan tapi bagiku ... sebenarnya gak papa. Tapi aku salah ...."
"A-apa yang terjadi?"
"Wildan pernah nyoba bunuh diri, dan kamu tahu alasannya apa? Dia mau nyusul ibunya ke surga, dan gak mau sama ayahnya yang pembohong."
Mata Javiera membulat sempurna.
"Salahku, karena saat dia bertanya begitu, aku jawab: ibunya ada, tapi hanya tidur. Dia nanya sampai kapan? Aku jawab ... sampai waktu yang ditentukan. Kamu dulu pernah bilang, kejujuran adalah hal terpenting bagi anak-anak, tapi seusia Wildan saat itu aku bener-bener gak sanggup. Katanya teman-teman Wildan yang bilang begitu, ibu Wildan meninggal, Wildan gak punya ibu, aku gak nyangka efeknya akan sangat besar bagi anak usia segitu."
Javiera tak menyangka akan hal tersebut ... bagaimana bisa?
"Aku memohon sama dia saat itu, dan mau gak mau menjelaskan semuanya, aku nangis di bawah kaki dia, memohon sepenuh hati. Kami sama-sama nangis ... dan anehnya saat itu imajinasi Wildan seakan muncul. Wildan terdiam melihat ke belakangku, terus ngehampirin sesuatu di sana, meluk angin yang gak ada kemudian berkata, Mamah, aku mau nyusul Mamah. Dan aku gak tahu apa yang didengar dan dilihatnya saat itu, tiba-tiba Wildan pingsan dan dia ... balik jadi anak yang ceria. Meski sisa-sisa ingatan indah soal imajinasi ibunya masih berberkas, itu gak mengganggu mentalnya saat ini karena dia udah tahu di mana ibunya, dan kami jadi keluarga bahagia ...."
"Syukur alhamdulillah ...." Javiera menghela napas lega. "Pelajaran biar kamu gak bohong lagi, tuh! Untung istri kamu bantuin."
Rafardhan menghela napas, lalu mengangguk, walau kemudian menatap gugup. "Kamu mikirnya itu imajinasi ... atau arwah? Aku sering kepikiran hal itu, sebenarnya, kalau sekadar imajinasi sih gak bakal segitunya kan ya."
"Mungkin aja ... karena dia sadar suaminya pasti susah ngerawat anak mereka sendirian." Javiera lalu menghela napas. "Aku gak nyangka kehidupanmu bisa seribet itu ...." Ia berbisin pelan.
"Papah, aku pulang!" pekik suara anak-anak dari luar.
"Lho? Kok ...." Rafardhan menatap ke jam dinding, dan kaget karena waktu berlalu nyatanya amat cepat. Sudah pukul 10! Rafardhan memijat keningnya, pusing pusing.
"Eh Bu Jeje!" sapa Wildan ceria yang kini ada di dapur, matanya lalu menatap sekitaran. "Wah, dapurnya kenapa dihias begini, Papah sama Bu Jeje belum selesai makan malamnya, ya?"
Sejenak Javiera terdiam, terbayang Wildan di hadapannya, anak kecil yang tampak ceria tetapi dulunya menyimpan rasa sakit. Ia benar-benar bersimpati ... dan ingin menolong anak itu.
Javiera tersenyum hangat. "Sudah, kok, Sayang. Kamu sendiri, udah makan belum?"
"Udah di rumah Abang Gaege." Wildan menyengir lebar. "Aku ngantuk, mau tidur dulu, dah Bu Jeje!" Wildan menguap.
"Mau ibu ceritain dongeng sebelum tidur, gak?" tawarnya, hal yang membuat pusing Rafardhan hilang hingga ia mendongak menatap Javiera. Kaget.
Wildan pun juga kaget. "Dongeng, Bu?" Wajahnya kemudian antusias. "Mau, Bu! Mau! Tapi Ibu gak sibuk?"
"Gak papa, kok. Ayo Ibu anter. Gak papa, kan, Rafardhan?"
Justru sangat bagus. "Sip, silakan!" Apa ia iba dengan masa lalu kelam Wildan? Kalau iya, jiwa keibuan Javiera pasti keluar, dan Rafardhan berharap jiwa istrinya juga. "Aku bakal beresin ini, kalian santuy aja!"
Mereka lalu ke kamar, sedang Rafardhan mulai beres-beres. Wajahnya awalnya senang, tetapi kemudian berubah sendu ... ingatan kelam masa lalu itu terpaksa ia ceritakan demi pengenalan lebih baik pada Javiera, bukan bermaksud lain ....
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]
Romance18+ "Bu Jeje ... nikah yuk!" Rafardhan Kairav namanya, duda statusnya, punya anak satu tapi lebih cinta kucingnya. Hobi? Sepertinya mengganggu Javiera, seorang guru muda dengan gombalan receh dan ajakan menjalin relationship. Sabar, sabar. Javiera s...