Chapter 6

12.5K 1K 24
                                    

16 April 2021

•••

Rafardhan baru membuka pintu ketika tiba-tiba di hadapannya sudah ada Javiera bersama pakaian dinas. Spontan pria yang tengah menggendong kucing hitamnya tersebut tersenyum lebar.

"Eh, Jeje, pagi-pagi begini udah ada depan rumah. Nungguin calon suaminya, ya?" Javiera hanya menghela napas gusar. "Gak usah makasih buat kemarin, saya gak masalah kok."

"Hah ... tetap aja, saya harus terima kasih sama kamu, Pak." Javiera kemudian tersenyum. "Dan saya mau nagih janji kamu ke saya."

"Eh? Nagih janji? Ya udah ayo kita ke KUA--"

"Hei, bukan itu! Asal ngomong kamu." Rafardhan mengerutkan kening bingung sementara Javiera melipat tangan di depan dada. "Kamu lupa, janji kamu bersihin nama baik saya di depan warga sekolah."

"Eh ... itu masih--"

"Saya gak narik kata-kata saya, ini soal harga diri!" Javiera tak mau kalah. "Saya tahu kamu baik, terima kasih banyak, tapi soal harga diri saya yang dipermainkan ...." Javiera menggeleng pelan.

Rafardhan mendengkus kemudian menggaruk belakang kepala. "Iya iya."

"Jangan lupa, Pak. Saya awasi kamu!" Rafardhan memutar bola mata malas. "Urusin anak dulu, tuh! Baru kucing!"

"Bantu urusin anak saya coba." Rafardhan cengengesan, tetapi Javiera mengabaikan itu sebelum akhirnya masuk ke mobilnya. "Hati-hati di jalan, Jeje!" Mobil Javiera berjalan menjauhi perumahan mereka.

Rafardhan meletakkan Hitam di teras, sebelum akhirnya masuk rumah, menghampiri putranya yang terlihat bahagia di pagi hari bersama pakaian sekolah dasar itu di meja makan, makan dengan lahap sarapannya berupa roti isi dan susu. Rafardhan juga ikut makan bersamanya.

"Papah," panggil Wildan tiba-tiba.

"Hm ...." Rafardhan yang makan menyahut dengan gumaman, asyik mengunyah rotinya.

"Aku bawa action figur-nya ke sekolah, boleh gak?"

"Boleh, boleh." Rafardhan manggut-manggut. "Jangan lupa juga dipamerin ke temen-temen kamu. Dan hati-hati, jangan sampe ilang."

"Yeay, makasih Papah!" Wildan tertawa gembira. "Mau bawa yang lain boleh juga, kan, Pah?!"

"Bawa aja, eh tapi apa dibolehin sama guru kamu, huh?"

"Boleh, Pah. Temen-temen sering kok bawa mainan ke sekolah, tapi diem-diem sih."

"O ... oh ...." Rafardhan manggut-manggut.

"Jangan kasih tau ke Bu Jeje, Pah. Entar disita Ibu Jeje." Rafardhan mengangguk menanggapi itu, tetapi sebuah ide malah melintas di kepalanya. Terlebih, kala Wildan mengatakan, "Entar Papah susah ngambilnya, harus orang tua yang ngambil soalnya."

Rafardhan menarik kedua tepi bibir ke atas dengan lebar. "Sip sip! Oh Ibu Jeje ya yang sering ngawasin anak-anak gitu?"

"Iya, dia guru bimbingan konseling, Pah. Dan sering ngurusin siswa-siswi." Rafardhan mengangguk.

"Baru tau, usia Bu Jeje itu berapa?"

"Dua puluh lima, kalau enggak salah, Pah. Papah ngapain nanya-nanya soal Bu Jeje?" Wildan mengerutkan kening. "Oh iya aku baru inget! Papah mau nikahin Bu Jeje, ya?! Temen-temen aku bilang begitu!"

Rafardhan tersenyum lebar dengan alis naik turun. "Cocok gak Papah sama dia?"

"Sadar umur, Pah." Wildan terkikik.

"Lho, Papah baru tiga puluh tiga tahun, pas aja sama Bu Jeje, kan?" Rafardhan merengut tak terima.

"Sadar diri juga. Banyak guru yang suka sama Bu Jeje di sekolah, lho. Saingan Papah banyak. Bahkan tukang bersih-bersih, mamang jualan, banyak. Lagian Bu Jeje keknya gak suka banget sama sikap Papah. Ibaratnya tuh Bu Jeje dewasa, Papah kayak bocil!" Tawa Wildan semakin keras.

"Heh, Papah bisa jadi dewasa, liat aja nanti!" Wildan menatap malas ayahnya. "Kalau gak percaya ya gak papa, tapi liat aja Papah bisa ngambil hati Bu Jeje kamu itu. Kamu emang gak mau Mamah kayak Bu Jeje?"

"Mau, sih. Tapi agaknya mustahil banget, Pah."

Rafardhan berdecak. "Makanya bantuin Papah, dong!"

"Gak ada yang bisa bantu Papah, selain Papah sendiri, apalagi kalau sifat Papah gak berubah." Wildan memutar bola mata malas.

"Apa adanya itu hal penting, Wildan. Papah yakin Bu Jeje bakal suka Papah apa adanya." Rafardhan penuh kepercayaan diri. "Kayak mendiang Mamah kamu, dia suka Papah apa adanya."

Wildan semakin malas akan kekeraskepalaan ayahnya. "Mungkin Mamah kena pelet sama Papah," gumamnya pelan.

"Eh, kamu ngomong apa?" Rafardhan bertanya, tak mendengar apa yang dikatakan putranya.

"Aku kudu ke sekolah, entar telat dan kena poin. Ayo dong!"

"Hah ... iya iya. Bentar Papah jemput Hitam di luar."

Setelah semua persiapan beres, ayah dan anak itu pun memasuki mobil, Rafardhan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang ke sekolah putranya dan seperti biasa ia temukan Javiera di depan pagar. Rafardhan mengekori Wildan yang perlu berbaris hingga ke hadapan Javiera, dan berhenti tepat di samping wanita itu.

"Pagi, Calon Istriku!" sapa Rafardhan, membuat Javiera membulatkan mata sempurna, menatap tak percaya Rafardhan yang bukannya memperbaiki kesalahpahaman malah memperkeruh suasana. Pria berhoodie itu bahkan menatap dengan cengiran lebar tanpa dosa. "Mau dibantuin, gak?"

"Pak, harap sopan dan jaga tutur Anda." Javiera berusaha sabar dan profesional. "Jangan menyebar berita hoaks, ada hukum yang menaungi hal itu."

"Hoaks? Ini fakta ya. Hm hm ...." Rafardhan tertawa pelan dan Javiera mendengkus sebal. "Heem iya maaf maaf, anak-anak, saya cuman bercanda ya. Soalnya guru kalian ini terlalu serius orangnya, gak bisa diajak bercanda dikit aja, datar banget kan kehidupan dia ampe-ampe jodoh aja belum nongol."

Javiera menggeram, menahan emosi akan ungkapan menyebalkan Rafardhan yang baginya adalah penghinaan level tinggi.

"Tapi Om, kata Mamah aku gak boleh bercanda, entar jadi beneran lho, Om." Seorang anak perempuan dengan polosnya berkata.

"Aamiin ...."

Tak tahan, Javiera pun melampiaskan amarahnya, menginjak kaki Rafardhan tanpa ampun kemudian memulasnya.

"A-a-aaaargghh! Je! Sakit!" Javiera melepas injakannya, dan Rafardhan terduduk seraya mengusap kaki dengan kesakitan. Para anak-anak kaget akan Javiera, tetapi beberapa menertawakan hal itu termasuk Wildan sendiri.

"Pak, ini sudah batas kewajaran, cukup menyebarkan hal buruk ke anak-anak." Ia menatap anak-anak di hadapannya. "Anak-anak, Sayang, ayo lanjut, ya."

Rafardhan masih meringis kesakitan, kakinya yang hanya dibalut sendal jepit diinjak dengan sepatu oleh Javiera, tentu rasa sakitnya luar biasa. Kaki pria itu memerah sedemikian rupa dengan mata yang berkaca-kaca.

"Makanya, Pah, jangan iseng!" Wildan berkata dan Rafardhan jadi bahan tertawaan bersama teman-temannya. Rafardhan merengut sedih.

Semua anak kini selesai diinspeksi, bel berbunyi dan semuanya masuk ke kelas. Javiera sebenarnya ingin masuk juga tetapi menemukan Rafardhan yang masih terduduk seraya mengusap kakinya membuat wanita itu berkecak pinggang.

"Kenapa kamu gak pulang?" Rafardhan mendongak, matanya terlihat berkaca-kaca, dan baru ia sadari kaki Rafardhan yang ia injak merah, agak membiru, parah. "Oh, ya Tuhan ... ma-maaf ...," kata Javiera penuh penyesalan, tak disangka bisa separah itu karena kegagalannya menahan emosi.

Tapi memang Rafardhan selalu membuat darahnya naik tak terkendali.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang