Chapter 28

5.7K 699 17
                                    

8 Mei 2021

•••

Anton tengah menunggu di depan sekolah, menunggu Javiera datang sedari tadi bersama kotak bekal di tangannya bermaksud memberikan itu pada si wanita. Sesekali ia menyunggingkan senyum malu-malu kemudian menatap ke depan, berharap Javiera datang ....

Sebuah mobil kini berhenti tak jauh dari berdiri, dan siapa sangka dari sana keluar Javiera, hal yang mengagetkannya karena ia mengenal mobil itu--milik Rafardhan. Dan benar, kepala Rafardhan menyembul di jendela mobil, bahkan Wildan keluar dari mobil setelahnya kemudian menggandeng tangan Javiera.

Mereka seperti keluarga.

Entah percakapan apa, Javiera dan Wildan lalu menuju masuk sekolah, sementara Rafardhan menjalankan mobilnya pergi. Mata Anton menatapi kepergian Javiera, ada sisa-sisa kesenduan di sana, apa benar hubungan mereka tidak ada?

"Enggak ... Javiera enggak mungkin bohong. Dia ... dia hanya suka anak-anak."

Anton berusaha meyakinkan dirinya sendiri, tetapi masih saja keraguan menamparnya. Selama beberapa saat ia diam, memejamkan mata mengumpulkan segala sisa keoptimisannya, dan kala membuka mata Javiera datang lagi. Kali ini memeriksa anak-anak yang melewati pagar.

Helaan napas Anton keluarkan, segenap keberanian ia ambil, sebelum akhirnya melangkah mendekati wanita itu.

"Pagi, Bu Jeje," sapa Anton kikuk.

Javiera yang menyadari kehadiran Anton mendongak. "Eh, Pak Anton. Pagi juga, Pak!" Javiera menyapa balik, lalu sibuk mengurus anak-anak yang berdatangan.

Anton menunggu hingga ada waktu luang.

"Bu ... ini buat Ibu." Ia memperlihatkan kotak bekal di tangannya. "Mungkin mau saya letakkin di meja Ibu? Ibu kelihatan sibuk."

"Eh, enggak usah, Pak. Sini." Javiera tersenyum bahagia, menyambut kotak bekal itu, dan meletakkannya ke kursi di belakangnya. "Terima kasih banyak, ya, Pak."

"Sama-sama, Bu." Panggilan nama hanya untuk di luar area sekolah, guna mengajarkan sopan santun kepada anak-anak didik mereka. "Mm ... Bu ...."

"Iya, Pak?"

Anton sebenarnya takut bertanya, tapi hal ini menggelitiknya, hingga akhirnya sejenak menunggu Javiera tak sibuk ia lalu bertanya. "Ibu tadi sama Wildan dan ayahnya, ya?"

Pertanyaan itu agak mengagetkan Javiera, ia tak tahu apa Anton ternyata ada di luar sedari tadi?

"Ah mm ... mobil saya malam tadi mogok gara-gara dia, jadi mau gak mau nebeng sama Pak Rafardhan." Anton mengangguk paham, perasaan sedikit lega, meski ada tekanan batin di sana.

"Bu, boleh saya bantu?" tawar Anton melihat Javiera mulai mengurusi anak-anak yang semakin banyak.

"Jika ... Bapak tidak keberatan."

Keduanya pun mulai mengurus anak-anak, dan baik perasaan Javiera ataupun Anton mulai merasakan getaran-getaran di dada. Mereka tahu persis itu apa, sekalipun hanya diam dan tetap pada aktivitas masing-masing. Tak lama anak-anak pun selesai, bel berbunyi menandakan akan diadakannya upacara bendera di pagi senin itu.

"Ayo masuk, Bu." Anton mempersilakan.

Javiera mengambil makanan yang diberikan Anton, Anton terdiam karena ia bahkan melupakan hal itu. Namun Javiera mengingatnya ... ia mengingatnya.

"Mari, Pak Anton." Keduanya masuk ke sekolah bersama.

Sementara itu Rafardhan yang sampai di kantor tempatnya bekerja mulai merasakan ketidaknyamanan yang kentara, padahal mobilnya baru terparkir di tempat parkiran khusus atasan. Karena tepat di sampingnya, ada mobil berwarna perak yang sangat ia kenal.

Itu mobil sang ayah.

Kegugupan semakin menjadi-jadi kala ia keluar mobil, lalu melangkah memasuki area kantor, sudah dapat dipastikan akan ada omelan besar karena keteledorannya menjaga Wildan malam tadi. Pria itu sadari ia nekat kabur demi Javiera karena takut wanita itu kenapa-kenapa, sekalipun Javiera berpikiran Anton orang baik, kalau pertemuan se-private dan seterpencil itu ... jika Javiera kenapa-kenapa siapa yang akan membantunya? Patut dicurigai, jika hanya penampilan bukan berarti penilaian keseluruhan.

"Rafardhan!"

Deg!

Ia baru ada di lobi, ketika suara yang sangat familiar itu memanggilnya dengan nada datar. Rafardhan yang berjalan seketika mematung, jantungnya mulai tak keruan meski perlahan menoleh, menoleh dengan memberikan senyum miris ke arah pemanggilnya yang duduk di sofa tamu.

Jelas, itu ayahnya.

"Eh ... Papah." Rafardhan tertawa, berusaha menetralkan rasa takutnya, dan berjalan menghampiri pria itu. Bersikeras santai.

"Ke mana malem tadi? Kenapa gak jemput Wildan? Urusan kantor kan udah selesai dan harusnya kamu bisa jemput dia ke rumah Papah. Bukannya nyuruh anak orang buat jemput."

"Ugh ... ya gimana ya Pah." Rafardhan menggaruk belakang kepala, haruskah ia jujur? Bohong ataupun jujur pun ia rasa tak berguna karena tetaplah ia salah dan pasti akan menerima hukuman. "Lagi ... lagi jagain jodoh, Pah. Hehe ...."

Rafardhan meneguk saliva, ekspresi ayahnya datar, tetapi mematikan. Pria tua itu menyesap kopi susu di mejanya, kemudian menghela napas.

"Bu guru itu maksud kamu? Bu ... Bu Jalapeno?"

Jalapeno? Cabe kali.

"Javiera, Pah. Panggilannya Jeje." Rafardhan meralat.

"Duduk sini sebentar!" Rafardhan ragu, tetapi kalau tidak menurut nanti akan ada semburan api dari naga raksasa. Jadi, pria itu menuruti saja apa kemauan ayahnya. "Jadi kamu serius pengen Javiera jadi ibu sambung Wildan?"

Apa pembicaraan mereka akan menjadi topik panas ini? Baguslah.

"Iya, Pah. Aku serius ... tapi aku gak mau maksain kehendak, aku mau dia nerimaku dulu baru kami bersama." Rafardhan menjelaskan, tersenyum hangat. "Wildan juga suka sama Javiera, makanya aku semakin memantapkan hati, Pah."

"Yah, Papah udah ngomong sama Wildan, Papah sih dukung aja yang terbaik buat kalian." Senyum Rafardhan melebar. "Papah malah kasian sama Javieranya, kalau sampe mau sama kamu, kamu kan rada ...."

Pria tua itu tertawa sementara Rafardhan ber-poker face, anak sendiri diejek.

"Papah dukung atau enggak, sih? Anak sendiri harapannya dijatohin."

"Bercanda, Rafa." Pria itu menepuk-nepuk puncak kepala Rafardhan, tersenyum hangat, walau tertawa lagi karena wajah Rafardhan yang manyun. Hawa bos berjasnya hilang, ia kekanak-kanakan. "Setelah sekian lama akhirnya kamu buka hati kamu, ya. Papah pikir kamu udah gak normal lho."

"Duh, Papah, pedes banget!" Rafardhan mendengkus akan tuduhan itu. "Sikapku begini keturunan Papah juga, sadar gak?" Ayahnya hanya tertawa. "Bersyukur atau apa itu, gak asik ah Papah!"

"Rafardhan," panggil sang ayah lembut. "Apa yang bikin kamu buka hati kamu sama seorang perempuan setelah sekian lama?"

Pertanyaan itu terdengar serius, membuat Rafardhan terdiam, ia sebenarnya tahu jawabannya tetapi menjelaskannya tampak lebih rumit. Selama beberapa saat keheningan, ayahnya memanggilnya lagi.

"Rafardhan?"

"Karena ... saat Wildan ngeliat Javiera, tatapannya sama kayak dia ngeliat Hope di khayalannya, Pah." Akhirnya, kata yang tepat muncul dari mulut Rafardhan. "Dan untuk kali pertamanya, aku nemu wanita yang seakan-akan ... seakan-akan Hope sendiri yang nunjuk dia buat aku. Papah tahu, rumah yang kutempati saat ini, adalah rumah impianku sama Hope yang sebenarnya bakal kami tempati pas Hope melahirkan? Tragedi itu bikin aku takut ke sana. Lalu setelah sekian lama aku takut ke sana karena kesedihan mendalamku ditinggalin dia, akhirnya aku berani mijakkin kaki ke sana, dan itu kali pertama aku bertemu Jeje. Dia punya ... dia punya hawa yang berbeda. Gak tahu kenapa jiwa-jiwa pengen ngegombalku muncul terus kalau liat dia, kayak aku sama Hope dulu."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DUDAKU SAYANG, DUDAKU SIALAN! [B.U. Series - R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang