Part 31
Zea menatap amplop coklat di hadapannya dengan mata berbinar melupakan sejenak seseorang yang kini sedang memperhatikannya dengan kebingungan.
"Sumpah Ze lo wajib cerita sama gue," Zea yang awalnya tersenyum lebar langsung mendatarkan wajahnya sambil menatap lawan bicaranya.
"Kan udah gue bilang gue lagi butuh duit," dengus Zea.
"Tapi—"
"Udah ya Nio, gue mau pulang. Sekarang anterin gue buruan," potong Zea dan langsung bangkit dari duduknya.
Orang yang baru saja di panggil Nio oleh Zea hanya pasrah mengikuti langkah Zea yang sudah keluar dari dalam kafe.
Kini dua orang itu sudah berada di dalam mobil dengan Denio atau biasa Zea panggil Nio teman dekat Zea selain Amira di sekolahnya dulu itu yang tengah mengemudi. Suasana hening tercipta, Zea yang sibuk mengamati amplop coklat tanpa merasa bosan dan Nio yang fokus menyetir meski sesekali melirik Zea di sebelahnya lalu dengusan keluar dari bibirnya.
"Masih sama kan?" tanya Denio memecah keheningan.
Zea langsung menoleh cepat. "Apa?"
"Rumah lo?"
Zea mengangguk paham, lalu seperkian detik perempuan itu gantian menggeleng. Denio yang memperhatikan pun lagi lagi di buat kesal. "Sumpah Ze, setelah sekian lama kita gak ketemu gue pikir lo udah berubah. Nyatanya makin rese!"
Zea tertawa. "Dan lo yang selalu darah tinggi tiap ngobrol sama gue."
Denio mengangguk membenarkan. "Jadi gue harus bawa lo kemana Kanjeng Ratu?"
"Apartemen," jawab Zea.
"Hah? Lo tinggal di apart?" tanya Denio terkejut. Zea hanya mengangguk membenarkan.
"Sejak kapan?"
"Tepat saat gue pindah sekolah," jelas Zea yang kini giliran Denio yang mengangguk.
"Makin bebas dong? Bahagia banget kali? Badan lo aja gue liat makin berisi di banding terakhir kali gue liat."
Zea tersenyum memandang lurus ke depan. "Udah keliatan?"
"Maksudnya?"
Zea menoleh pada Denio dari samping. "Kalo gue bilang gue lagi hamil lo percaya?"
Denio mengernyit sebelum tawanya terdengar renyah di telinga Zea. "Dih, lawak lo!"
"Kapan gue bercandain hal serius kayak gini?" tanya Zea yang dia yakini bahwa laki-laki di sampingnya itu pasti mengerti apa maksud pertanyaannya. Terbukti dengan kendaraan yang keduanya tumpangi kini tiba-tiba saja berhenti dengan mendadak dan membuat umpatan-umpatan dari luar terdengar samar di telinga Zea.
Seakan tersadar Denio langsung membuka kaca jendela mobil dan melongokan kepalanya mengucapkan kata maaf. Selesai dengan urusannya Denio langsung menancapkan gasnya kembali melanjutkan perjalanan. Suasana hening kembali tercipta, keduanya tak ada yang membuka suaranya karena kini sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Denio menepikan mobilnya di pinggir jalan yang lumayan lenggang. Lalu laki-laki itu langsung membuka sabuk pengamannya merubah posisi menjadi menyerong menatap Zea sepenuhnya.
"Kenapa Ze? Lo kok bisa kebablasan gitu?" cerca Denio dengan pandangan cemas.
"Siapa Bapaknya? Dia mau tanggung jawabkan? Jawab Ze! Jangan bikin gue cemas gini."
Zea memijit keningnya. "Dari mana gue jelasinnya ya?"
Denio langsung berbalik kembali dan menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. "Harusnya waktu Om Beni mau pindahin lo gue bisa nyegah lo, kalo semisal lo gak pindah sekolah setidaknya gue masih bisa ngawasin lo. Sekarang gimana? Lo udah dung duluan, terus apa kata bonyok lo Aeris!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Bad Marriage [END]
Jugendliteratur17+ Menikah untuk Berubah atau Menikah untuk Berulah? Aeris Florenzea, nakal, pembuat onar, bulak-balik ruang BK, dan itu sudah biasa. Asean Vareri Ocean, nakal, pembuat onar, bulak-balik ruang BK, tawuran, bolos, dan bagi Sean pun itu sudah biasa. ...