Protektif

8.1K 567 2
                                    

Part 15

"ZEAAA ASTAGA!" teriak Amira tak percaya pada keadaan dapurnya yang sudah seperti kapal pecah akibat ulah dari sahabat laknatnya.

"AMIRAA!! INI KENAPA SUSAH DI BALIKINNYA SIH ANJIR!" teriak Zea dengan mengacungkan sebuah spatula di tangannya.

Amira yang mulanya kesal dan marah kini justru ikutan panik ketika melihat kepulan asap hitam mulai muncul. "ZEA!! ITU ASAP! ASAAAPPP!!" heboh Amira ketika melihat penggorengan yang berada di atas kompor yang menyala kini mengepulkan banyak asap.

Zea menoleh cepat ke belakang dan betapa kagetnya Zea saat melihat banyaknya asap yang mengepul di sana.

"AMIRA! INI GIMANA?!" panik Zea sambil berjalan bolak-balik tak tentu arah yang justru menular pada Amira yang ikutan panik sambil melompat-lompat kecil di tempatnya.

"MATIIN! MATIIINNN!!" titah Amira, Zea yang panik bergegas menghampiri kompor dan mematikannya. Tapi, dengan bodohnya Zea justru memegang wajan yang sudah pasti panas itu dengan tangannya.

"Aw! Aduh panas!" pekik Zea sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Amira langsung melotot. "Lu bego! Itu kan emang panas napa di pegang dodol!"

"Mira sakit ini huaaa..." Zea meringis melihat tangannya yang memerah memanjang.

"Ayo cepet obatin!" Amira menarik tangan Zea yang satunya lagi membawanya ke ruang tengah rumahnya.

"Bibi, itu dapur tolong bersihin ya," ucap Amira pada asisten rumah tangganya yang kebetulan berpapasan.

"Iya Non," kemudian wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya menuju dapur. Seketika jantung wanita paruh baya bernama Hayati itu berdegup kencang karena terlalu syok. Bagaimana tidak jika keadaan dapur yang biasanya bersih rapi kini sudah seperti kapal pecah.

Wajan yang masih menyisakan kepul asap, teplon di lantai, sendok berserakan dan masih banyak barang-barang lainnya yang tergeletak mengenaskan. Bi Hayati hanya mengelus dadanya sabar.

Sedangkan di ruang tamu Zea sudah meringis kesakitan saat Amira mengobati tangannya tanpa perasaan.

"Amira pelan-pelan ish!" protes Zea.

Amira menatap tajam pada Zea yang juga sedang menatapnya. "Iya gue tahu niat lo baik, tapi jangan terlalu memaksakan hal yang sulit lo lakuin Zea!"

"Gue kan masih belajar," jawab Zea.

Amira berdecak. "Iya tahu, tapi pelan-pelan aja. Lagian lo juga belum lama ikut kursusnya kan?"

Zea mengangguk lesu. "Gue sebenernya juga gak mau kayak gini, tapi mau gimana lagi? Keadaan memaksa gue buat bisa."

Amira menghela napasnya. "Ternyata jadi dewasa gak semenyenagkan yang gue kira, waktu masih kecil gue pengen banget cepet-cepet jadi dewasa,"

Zea terkekeh. "Dewasa juga menyenangkan, tapi mungkin ini salah satu tahap awal kita untuk jadi dewasa harus ngerasain dulu sesuatu yang menantang mungkin?"

Amira ikut terkekeh. "Uh...ternyata lo bisa ngomong sebijak itu ya?!" Zea menaggapi dengan tawanya yang terdengar renyah hingga ucapan Amira membuat Zea terpaksa menghentikan tawanya.

"Lo udah mulai nerima dia Ze?"

Zea tersenyum tipis. "Mungkin?"

"Udah cinta?" Zea menggeleng.

"Udah gak canggung?"

Zea tampak berpikir. "Lumayan."

"Dia baik?"

Zea kembali berpikir. "Baik dalam artian dia gak main tangan sih iya. Tapi baik dalam artian dia ngasih duit mah kagak!"

Amira tertawa. "Jadi? Setelah semua akses kartu lo di blokir sama Om Beni lo jadi miskin gitu?!"

(Not) Bad Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang