Part 32
Zea melirik lewat ekor matanya pada seseorang di sampingnya yang kini tengah mengemudi. Sesekali Zea membasahi bibirnya cukup merasa tak nyaman keheningan yang terjadi.
Sungguh rasanya sangat awkward, duduk berdampingan seperti ini bersama seseorang yang baru tiga hari ini coba Zea dekati. Bukan tanpa alasan Zea melakukannya melainkan hal ini termasuk ke dalam salah satu misi yang sedang Zea juga yang lainnya susun. Terutama kesediaan Zea untuk menjadi bahan pancingan yang lebih beresiko besar karena berdekatan langsung dengan seseorang yang merupakan tujuan dari perencanaan itu.
"Hendrik?" panggil Zea memecah keheningan.
Hendrik yang sedang mengemudi itu menoleh sebentar pada Zea lalu menjawab. "Ya?"
Zea berdehem sebelum berbicara. "Sebelumnya gue mau bilang maaf dan makasih."
Hendrik terdiam beberapa saat sebelum terkekeh menanggapi ucapan Zea barusan. "It's oke, gue sama sekali gak keberatan."
Zea kembali diam, sejauh Zea berdekatan dengan Hendrik laki-laki itu tak pernah sama sekali menunjukan gelagat mencurigakan yang selama ini di tuduhkan padanya. Entah laki-laki itu yang memang pandai memanipulasi atau mungkin Zea yang kurang teliti entahlah.
"Ini kan?" tanya Hendrik yang membuat Zea tersadar dan mengerjap.
"Eh? Iya," jawab Zea cepat saat melirik jalanan yang di lewatinya kini menuju ke arah rumahnya. Iya, rumah kedua orang tuanya bukan apartemen seperti yang seharusnya.
Ini murni di luar rencana Zea duduk berdua dalam satu mobil yang sama dengan Hendrik adalah di luar dugaannya. Tidak seperti tiga hari sebelumnya yang memang sudah di rencanakan terlebih dahulu olehnya Sean juga yang lainnya. Berawal dari sepulang sekolah tadi Zea mendapatkan telpon dari Rima untuk mengunjugi rumah karena ada hal yang harus di bicarakan oleh kedua orang tuanya itu. Dan entah kebetulan atau bagaimana Zea yang tak membawa motor juga Sean yang sulit untuk di hubungi membuat Zea memutuskan untuk menaiki taksi dan anehnya lagi sudah hampir tiga puluh menit Zea menunggu namun taksi yang di tunggunya tak kunjung datang dan berakhir dengan Zea yang kini duduk bersama Hendrik.
Laki-laki itu tiba-tiba saja menghampirinya dan menawarkan akan mengantarkan Zea yang sebenarnya ingin Zea tolak namun akan terasa aneh jika bahkan tiga hari belakangan dirinya mencoba mendekati lelaki itu dan tiba-tiba saja seperti anti pati padanya.
Terlalu larut dengan pikirannya membuat Zea tak sadar jika kini mobil sudah berhenti tepat di depan rumah Zea. "Nomor 19 kan?" lagi lagi suara Hendrik membuat Zea tersadar dan buru-buru menoleh ke samping memastikan. Dan benar saja, di depannya kini adalah rumahnya.
"Iya," jawab Zea sambil menoleh menatap Hendrik.
Hendrik mengangguk kecil. Lalu Zea melepaskan seatbelt-nya kemudian menatap Hendrik yang juga sedang menatapnya. "Hendrik sorry banget gue malah nge-repotin lo padahal kita baru kenal." ungkap Zea sedikit jujur, terutama untuk hal yang di luar dugaannya ini.
"Santai aja Zea, gue gak ngerasa repot kok."
Zea tersenyum membalas ucapan Hendrik barusan. "Oke, kalo gitu lo jangan nolak kalo nanti gue ajak lo makan. Gue traktir deh."
Hendrik tertawa lalu tangannya terulur mengacak rambut Zea membuat Zea yang di perlakukan seperti itu mendadak terdiam dengan tubuh yang kaku.
"Yaudah gih sana cepetan turun," usir Hendrik membuat Zea tanpa sadar mencebikan bibirnya.
Tatapan keduanya kembali bertemu, Zea di buat terpaku akan sorot lembut yang di pancarkan dari kedua mata Hendrik. "Gue turun, thank's Drik."
Tangan Zea yang hendak menutup pintu mobil harus terhenti ketika suara Hendrik kembali mengintrupsi. "Zea?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Bad Marriage [END]
Fiksi Remaja17+ Menikah untuk Berubah atau Menikah untuk Berulah? Aeris Florenzea, nakal, pembuat onar, bulak-balik ruang BK, dan itu sudah biasa. Asean Vareri Ocean, nakal, pembuat onar, bulak-balik ruang BK, tawuran, bolos, dan bagi Sean pun itu sudah biasa. ...