Takluk

5.7K 478 7
                                    

Part 44

Zea berlari dengan tergesa di koridor sebuah rumah sakit yang sebelumnya telah di beritahukan oleh Rigel di mana Sean kini sedang di rawat pasca kecelakaan.

Clarisa dan Amira yang ikut berlari di belakang Zea mengernyit ngeri melihat Zea yang sedang mengandung itu berlari cukup cepat. "Zea jangan lari-lari!" peringatan dari Clarisa membuat Zea spontan menghentikan langkahnya dan mengusap perutnya pelan. "Maaf, maaf,"  gumam Zea lalu kembali melangkah dengan menurunkan kecepatannya kini hanya berjalan namun dengan langkah lebar.

Sampai di sebuah koridor Zea melihat ketiga teman Sean juga ada Denio di sana yang sedang terduduk dengan raut gelisah.

Zea berjalan menghampiri keempatnya. "Sean gimana?" tanya Zea menatap keempatnya dengan raut tak kalah gelisah. Seakan tahu apa yang dimaksud Zea Arthur hanya menunjuk sebuah pintu yang tertutup dengan dagunya.

Menatap pada pintu yang tertutup itu sekilas, Zea kembali menoleh pada keempat laki-laki yang sedang duduk gelisah itu meminta penjelasan. "Kenapa bisa gini?"

Keempat laki-laki itu kini saling bertatapan seolah sedang berbicara hal yang rahasia lewat tatapan. Dengan tak sabaran Zea bertanya langsung pada Rigel. "Jelasin ke gue Rigel! Kenapa bisa kayak gini?!" tak terasa bahu Zea bergetar mengeluarkan emosi yang sedari tadi di tahannya.

"Sean balapan," ucap Rigel yang langsung membuat Zea memalingkan wajahnya dengan air mata yang semakin mengalir di kedua pipinya merasa sudah mengerti akan kemana arah pembicaraan Rigel.

"Terus tiba-tiba aja ada truk yang muncul di tikungan, Sean gak bisa ngelak dan..." Rigel diam memilih tak melanjutkan karena yakin Zea paham dengan penjelasnya.

Menghapus air matanya kasar Zea kembali memandang Rigel lekat. "Bukan kecelakaan biasa kan? Pasti ini di sengaja, iyakan?"

"Kita curiga sama musuh di arena balapan. Dia musuh Sean dari dul—" belum selesai Rigel berucap Zea sudah membalikan badan dan ingin berlalu dari sana. Namun, Amira lebih dulu mencekal lengan Zea.

"Mau kemana?" tanya Amira.

"Anter gue Mir Cla, gue perlu nemuin seseorang," jawab Zea yang membuat semuanya bingung. Namun, tak ayal Amira dan Clarisa mengangguk.

Kemudian ketiga perempuan itu kembali pergi dari area rumah sakit. Tapi sebelum itu Zea menatap keempat laki-laki yang juga sedang menatapnya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. "Titip Sean kalo ada apa-apa tolong hubungi gue."

Lalu, di sinilah ketiganya berdiri menatap sebuah rumah minimalis yang cukup terawat dengan Zea yang sudah memegang ponsel miliknya menghubungi seseorang.

"Keluar gue di depan," ucap singkat Zea lalu mematikan sepihak tanpa menunggu jawaban dari seberang telpon.

"Ini rumah siap—" ucapan Amira terpotong oleh suara dari pagar rumah yang terbuka menampilkan sosok yang membuat Amira dan Clarisa terkejut.

Menatap Zea cepat Clarisa seolah mengatakan kok bisa? Namun dengan bibir yang terkunci rapat rasanya terlalu kelu untuk sekedar berucap.

Zea berjalan mendekat pada sosok yang berdiri tak jauh darinya itu. "Gue butuh semua bukti yang lo janjikan itu," ucap Zea dingin.

Sosok itu tampak tak bereaksi lalu menghela napasnya pelan saat sorot mata Zea semakin menajam ketika tak mendapatkan respon darinya. "Oke," ucapnya lalu kembali masuk ke dalam rumah yang ada di belakangnya.

Amira yang masih terlihat terkejut itu langsung mendekat pada Zea. "Ze l-lo d-dia? Lo sama dia?" ucap Amira terbata tak sanggup mengatakan sesuatu yang sedari tadi berkeliaran dalam pikirannya.

(Not) Bad Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang