Chapter XLII

1K 156 31
                                    

 "Tidak biasanya ibu melihatmu di ruang perapian semalam ini" Mrs. Collins memasukkan tangannya ke dalam saku gaun tidur. Rambut panjangnya sudah terurai cantik. Henry menoleh sebentar sebelum membalikkan kertas yang sedang ia baca. Tumpukan-tumpukan kertas itu tidak akan pernah usai membuat Henry harus terus terjaga meski pun pagi sudah menjelang. Satu jendela besar masih terbuka, dua pelayan masih berjaga di luar ruangan, perapian masih menyala namun tidak banyak pria itu berbicara. Mrs. Collins merekatkan gaun tidurnya, ia menutup satu-satunya jendela yang masih terbuka, "angin malam tidak terlalu baik untuk kesehatanmu."

"Aku sudah cukup berteman baik dengan mereka," Henry masih menulis, "bukankah seharusnya ibu sudah istirahat?"

"Ibu baru berbicara panjang dengan William, mengenai gelar yang akan segera kau miliki."

"Aku bahkan belum memilikinya, sedangkan ibu sudah mempersiapkan penerusnya. Bukankah itu terdengar," Henry melirik, "aneh?"

"Tidak bagi ibu. Henry, ibu menganggap serius semua yang kau bicarakan selagi seluruh keluarga kita menganggapnya sebagai lelucon. Kau harus mendengar bagaimana Arthur bersikeras meyakinkan ibu bahwa kau akan menikah kelak." Henry mengangkat kedua bahunya, masih terus membaca kertas yang ia ambil dari tumpukan di hadapannya.

"Kau terlihat aneh malam ini. Di pesta dansa, ada apa denganmu, nak?"

"Aku rasa sebagai ibu yang baik, seharusnya kau mengenal tabiat anakmu sendiri."

Mrs. Collins duduk di kursi dekat perapian, "bagaimana menurutmu Miss Taylor?"

"Cukup baik, ia pandai berbicara namun dansanya sangat buruk. Apabila ibu akan meneruskan pembicaraan ini dan memaksaku untuk menikahinya, maka jawabannya adalah tidak." Henry menyandarkan tubuhnya di kursi, "aku tidak merendahkannya. Ia hanya bukan tipeku."

"Oh, lantas bagaimana yang menjadi tipemu? Kau bisa memberitahu ibu dan dalam satu pekan ibu dapat menemukannya!" kata seseorang yang hampir mengenal seluruh wanita di London.

"Aku," Henry menutup buku yang baru ia buka, "tidak memiliki gambaran tentang itu."

"Namun kau sudah menilainya demikian, Henry. Kau tidak dapat merendahkan seorang wanita seperti itu untuk menutupi ego dan prinsipmu yang sungguh aneh. Miss Taylor adalah contoh wanita baik di London, ia suci—sama sepertimu, ia ceria, menawan, dapat memikat meskipun ia tidak berasal dari golongan aristokrat, namun itu tidak menjadi masalah untuk ibu. Miss Taylor—"

"Cukup tentang Miss Taylor," Henry menaruh penanya frustrasi, "jika aku memilih untuk menikah, maka bukan Miss Taylor yang akan kunikahi."

Tersinggung, Mrs. Collins menaikkan nada bicaranya "Ibu sungguh tidak dapat memahami apa yang ada dalam pikiranmu, Henry. Apa yang akan dikatakan oleh mereka saat kau tak kunjung memilih seorang istri setelah menjadi seorang adipati. Bagaimana pun juga kau harus memiliki keturunan, gelar ini harus diteruskan, Henry."

"Kau masih memiliki William, kita masih memilikinya dan Arthur."

"Kau tidak bisa terus mengandalkan William!"

"Dan ibu tidak bisa terus mengandalkan aku." Mr. Collins menahan emosinya, ia berjalan menuju Henry.

"Lebih baik ibu segera istirahat, selamat malam, nak." Henry hanya mengangguk selagi ibunya meninggalkan ruangan. Ia menatap api pada perapian yang terlihat menari atas penderitaannya kali ini. Ia menutup bukunya kasar dan merapikan kertas-kertas sebelum memadamkannya kesal. Henry meninggalkan ruang perapian saat pelayan masuk untuk merapikanya. Pria itu memutuskan untuk kembali ke kamarnya, menyalakan perapian dan menulis buku hariannya.

- - -

Sepekan paska pernikahan Marie nyatanya tidak merubah banyak keluarga Collins. William masih menjadi anak yang acuh, Arthur laksana telah menikahi bukunya dan Henry yang masih pada pendiriannya untuk tidak menikah. Dua hari setelah kepulangan keluarga Morris kembali ke Leichester cukup membuat Northingham Manor kembali sepi. Sudah berbulan-bulan tanpa ditemani oleh suaminya, Mrs. Collins sudah jauh lebih mandiri. Ia mempersiapkan kemungkinan terburuk bahwa suaminya tidak akan kembali dan ia sudah siap menanggung malu apabila kebohongan mengenai penyakit suaminya terbongkar.

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang