Chapter IX

3.4K 358 4
                                    

Demam

Pesta dansa yang ditunggu-tunggu telah usai. Semua tamu mulai meninggalkan istana perlahan. Dentang jam di pusat kota terdengar nyaring, menerbangkan burung-burung yang hinggap di atasnya. Butiran salju perlahan turun, pohon-pohon cemara terlihat memutih. Isabella terlihat kacau, susah baginya untuk sadar setelah lomba meminum wine yang digagasnya berhasil. Arthur, William, Eleanor dan Hougham turut berpartisipasi. Pemenangnya memang William, namun dirinyalah yang tak sadarkan diri. Ia memegang kepalanya, menahan pusing yang melanda. Kedua sepupunya sudah tertidur pulas di kereta kuda. Mereka semua sudah berjalan kembali ke rumah.

Sesampainya di Northingham Manor, kepala pelayan sudah menyambut mereka semua. Isabella mencoba menyeimbangkan tubuhnya sembari menaiki anak tangga menuju kamarnya untuk beristirahat. Lily dan Lucy membantu melepas seluruh lapisan gaun, menyisakan lapisan terdalam yang sedikit tembus untuk tidur malam. Ia langsung menghempaskan tubuhnya yang seketika membuatnya terlelap.

SRAAK

Isabella menutup matanya dengan selimut. Namun sinar matahari itu tetap menusuk matanya meskipun si kelopak mata tidak terbuka. Ia belum sepenuhnya sadar, wine itu masih sedikit memabukkan. Tercium aroma parfum vanili, si cahaya tak terlalu menyilaukan. Sesosok itu sudah berdiri di sebelah kasur Isabella. Mau tak mau, wanita itu membuka matanya perlahan.

"Pemabuk," pria tersebut berbicara tanpa ekspresi. Sebenarnya dalam keadaan linglung seperti itu, Isabella sangat menghindari sebuah perdebatan. Namun pria ini sama sekali tak bisa menjaga tutur katanya.

"Kau terlalu lemah, Henry, untuk ikut perlombaan malam tadi." Wajah Isabella kacau, suaranya parau. Rambutnya berantakan, cukup menutupi wajah dan kantung matanya yang membesar dalam semalam.

"Ck, cepat beranjak." Lelaki itu menarik lengan Isabella cukup kasar, cukup membuat Isabella terduduk dalam sekejap. Namun raut wajah Henry cukup berubah, ia melepas lengannya seketika. Ia berjalan ke meja rias dan mengambilkan sisir. Lalu ia memberikan sisir itu kepada Isabella yang masih memejamkan mata, namun sekarang dalam posisi duduk.

"Sisir rambutmu, aku tidak suka melihatmu seberantakan ini." Isabella dengan lesu meraih dan menyisir rambutnya sendiri, namun pria itu masih berdiri di sampingnya. Sebenarnya Henry cukup kasar dalam benaknya, terkadang ia memiliki sisi lain yang manis, namun tak semua orang dapat merasakannya. Isabella cukup beruntung, ia dapat melihat sisi itu setidaknya dua kali, sekarang dan malam kemarin saat ia memasangkan ekor gaun padanya.

"Eleanor sudah bangun?" Isabella mencoba mencairkan kesunyian.

"Semuanya belum terbangun, baru aku dan kamu," Henry masih berdiri menatapnya, "Kau akan menyisir rambutmu untuk sejam?"

Isabella meringis. Ia menaruh sisirnya di atas laci samping ranjang dan beranjak. Ia dan Henry menuruni tangga, mendapati rumah itu sepi tak bernyawa. Tak ada aktivitas masak memasak, ia bahkan tak melihat para penjaga menjaga pintu-pintu masuk dan pintu penghubung. Syukurlah ia merasa gatal di kepala, Isabella menggaruk rambutnya pelan sambil menatap bingung.

"A—ku tak melihat ada masakan di meja." Isabella memutari meja bundar dari porselen sambil tetap menggaruk rambutnya yang sebenarnya sudah tidak gatal lagi. Henry tampak membuka laci makan, mengeluarkan dua piring dan buah-buahan segar. Ia mengambil cangkir dan membuat jahe panas tanpa berbicara sepatah kata pun. Semuanya ia lakukan sendiri, Isabella hanya menatapnya aneh sembari beberapa kali menguap.

"Henry, kau tahu sesuatu?"

Lelaki itu masih serius memotong jahe dan memasukkan beberapa sendok madu. Namun ia tampak mendengarkan Isabella.

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang