Seminggu setelah itu, Inggris mulai merasakan ke tidak adaannya peran Ketua Parlemen dalam segala kegiatan yang mereka lakukan. Mulai banyak yang bertanya- tanya 'apakah akan dipilih ketua parlemen yang baru' atau 'apakah pemerintah sudah benar- benar lepas dari semua tanggung jawab'
Surat- surat wasiat atas tanah yang seharusnya keluar, terhenti dalam seminggu. Banyak rakyat yang mendatangi Istana hanya untuk menanyakan kelanjutan waris mereka. Beberapa memohon untuk bertemu ketua parlemen secara langsung, namun hanya mendapat usiran di pintu masuk Istana.
Chaos terjadi di beberapa pusat kota, termasuk London. Berita itu Louis Collins baca di surat kabar yang baru saja diambil oleh pelayan. Tangannya gemetar, tidak tahu hendak berkomentar apa lagi. Malam itu, satu minggu lalu masih memutar di ingatannya. Bagaimana ia ter sudutkan oleh pria yang jauh lebih muda darinya, bagaimana Sebastian menatapnya marah. Ia tidak ingin memiliki masalah terutama dan seseorang dari Foster karena akhirnya pasti akan berujung buruk. Ia menyayangi nyawanya sendiri dan Sebastian bisa saja membatalkan perkawinannya dengan Isabella, bukan sesuatu yang mustahil. Ia memukul keningnya sendiri berulang- ulang kali.
"Bodoh, sangat bodoh! Kau dungu sekali Louis Collins! Mengapa harus Isabella" Mr. Collins memukul dinding ruangan berkali kali dengan tongkatnya. Ia mengetahui bahwa umur perserikatan itu sudah tidak akan lama lagi.
Keributan yang terjadi di luar belum cukup membangunkan semuanya dari tidur yang panjang. Isabella terlelap pukul tujuh malam, dan William terlelap tepat pukul sebelas, menjadi yang terakhir masuk ke dalam kamarnya dan mereka kembali ke London pukul dua belas malam.
Arthur, keluar dengan gaun tidurnya sembari mengucek mata gatal. Semuanya tiba dari Moreton pukul dua dini hari, baru sedikit nyawa yang terkumpul di dalamnya. Ia terfokus pada kuda hitam yang baru memasuki halaman rumahnya. Arthur memutuskan untuk menyambut siapa pun yang mengunjunginya di pagi seperti ini. Pukul Sembilan. Ia melihat jam di sudut ruangan sebelum membuka pintu.
Pria dengan postur tubuh tinggi dan rambut pirang itu tersenyum dan melepas topinya.
"Hai?" sapa Arthur seraya mengingat sosok di hadapannya.
"Christopher Hougham," Chris menjulurkan tangannya, "selamat pagi, Mr. Collins, apa saudara tertuamu sudah tiba sini?"
"Oh? Ya. Henry maksudmu? Silakan masuk" Arthur melebarkan bukaan pada pintunya, menahan dengan kaki hingga si tamu masuk, "tunggu sebentar, akan kubangunkan Henry."
Arthur masuk ke dalam kamarnya. William masih tidur di ranjang satunya, dan Henry membagi ranjang bersamanya semalaman. Henry enggan beristirahat di kamarnya sendiri sebabnya dia satu- satunya yang harus terjaga di sepanjang perjalanan kembali sehingga ia sudah tidak menahan rasa lelahnya. Kamar Arthur adalah kamar terdekat dari ujung tangga, sedangkan miliknya masih sangat jauh. Pria itu masih meringkuk di sisi kanan ranjang, sekali ia bergerak, ia bisa saja terjatuh. Baru saja hendak menepuk kakaknya, suara ibunya sudah terdengar di luar.
"Mr. Hougham! Sepagi ini, ada apa?"
"Aku datang dengan surat perintah untuk Henry, Mrs. Collins. Kurasa ia baru melewati malam yang panjang. Tidak biasanya Henry masih terlelap pukul sembilan."
"Benar sekali, malam tadi kami membuat babi panggang. Tetanggaku memberi sedikit bagian dan kami lalu memanggangnya. Sepertinya masih bersisa. Lalu pukul dua belas kami putuskan untuk kembali ke sini. Biar aku bangunkan Henry terlebih dahulu" Mrs. Collins tersenyum lalu menuju kamar Henry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isabella and The Duke (On Hold)
Historical FictionIsabella Collins; Seorang wanita yang mandiri, periang, dan cukup beruntung bagi seseorang yang hidup pada masa industrialisasi Inggris. 1863 bukanlah tahun yang baik kecuali karena ia dipertemukan kembali dengan keluarga terhormatnya dan hidup dala...