Chapter XLVII

1.4K 180 42
                                    


Dia membuka matanya lebar. Rasa takut itu, alih-alih membuatnya membutuhkan tempat untuk bercerita—ia memang tidak mungkin menceritakannya—membuatnya terjaga semalam penuh. Ditemani suara burung hantu dan gemercik air dari air mancur pekarangan belakang, Henry membiarkan angin malam singgah melalui pintu balkoninya yang sengaja ia buka. Bukan tidak mau tidur—apabila ia memiliki kesempatan—namun ia tidak dapat menghentikan otaknya yang terus bekerja tanpa henti. Henry belum tiba di alam bawah sadarnya ketika ketakutan itu kembali datang.

Kepalanya seolah-olah meminta Henry untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak akan pernah ia lakukan pada siapa pun. Pelipisnya memerah akibat pijatan paksa berulang kali yang ia lakukan di sana. Hampir sepekan setelah ia menolak lamaran Lord Howard, namun penyesalan akan kemungkinan ia telah menyakiti perasaan Lady Howard semakin tumbuh setiap saat. Lamaran itu laksana sekak mat atas semua penolakan Henry pada lamaran-lamaran lainnya, tempat dimana seluruh penyesalannya bermuara. Perasaan itu membawanya kembali pada Catherine, wanita yang selalu menemaninya—yang mendapatkan rasa sakit paling banyak. Tidak seharusnya ia melakukan tindakan paling hina pada perempuan yang paling mencintainya—perasaan yang selalu menghantuinya.

Ia meraih gulungan kertas yang selalu menemani tidur malamnya. Karena seringnya ia membaca naskah itu berulang kali, malam ini ia tidak harus membacanya karena semuanya sudah terekam dalam memori kepala; setiap huruf, setiap kata hingga setiap kalimatnya. Lukisan pria pada menara London yang datang bersama dengannya terus mencuri perhatian Henry setiap ia membacanya. Terkadang membuatnya sadar bahwa nasib pria tua yang enggan ia sebut sebagai: ayah— ada pada keputusannya.

Terjebak dalam lamunannya membuat Henry tidak sadar dengan suara derap langkah yang semakin terdengar keras. Pintu dibuka ketika pelayan pribadinya masuk. Pelayan pria itu tidak terkejut melihat tuannya masih terjaga, ia akan lebih takut jika melihatnya masih terlelap.

"Bagaimana tidur malammu, tuan?" pelayan membuka tirai dan mematikan perapian serta beberapa lilin yang menyala.

"Jika terlelap dalam tiga puluh menit adalah yang dianjurkan—maka tidurku baik."

Pelayannya menaruh segelar air mineral dan biskuit di meja samping ranjang sambil merapikan beberapa kertas yang ada di atasnya. Henry memakai alas kaki dan membawa gelasnya menuju balkon. Ia berdiri di sana sambil menunggu matahari membumbung tinggi. Cahaya itu membuat langit biru kejinggaan pada ufuk timur. Henry mengamati Northingham Manor yang akan menjadi hidup dalam beberapa menit ke depan. Di bawah sana para kusir sudah mengajak kuda-kuda gagah untuk mempersiapkan mereka menyambut tugas beratnya nanti.

Pelayan lainnya—kali ini wanita—masuk dengan satu pasang pakaian yang sudah disetrika rapi lengkap dengan topi tinggi berwarna hitam.

"Pakaian gantimu, tuan."

Henry berbalik dan Sarah sudah berdiri di hadapannya.

"Kau dapat menaruhnya di atas ranjangku."

"Demi tuhan, Sarah! Tidakkah kau mengerti untuk tidak memasuki kamar dari tuanmu?" pelayan pribadi, yang sempat pergi untuk mengecek suhu air, kini terlihat geram pada wanita itu.

"Ia mengantar pakaian yang akan ku gunakan hari ini," sela Henry.

Pelayan yang dikenal sangat galak dan tegas itu adalah pelayan pribadi Henry sejak adipati menginjak umurnya yang ke dua puluh. Semua pelayan memanggilnya dengan Mr. Woods.

Mr. Woods mengambil napas dalam, mencoba untuk tidak terdengar marah ketika bicara dengan tuannya. "Hanya siasat liciknya, sebab ia beberapa kali memaksa untuk dapat berbicara denganmu, tuan."

"Adakah sesuatu yang ingin kau katakan?"

Sarah mengangguk kencang bersama tatapan penuh harapnya. "Kau dapat meninggalkanku, Mr. Woods, dan biarkan pintunya terbuka."

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang