Meja bundar berdiameter satu meter setengah pada tengah ruang gambar telah diisi penuh oleh penghuni Northingham Manor. Eleanor merangkai bunga dan menyusunnya ke dalam vas-vas kecil bermozaik sedangkan Arthur duduk tegap sembari membaca buku yang ia taruh di atas meja. Di tengah keduanya, William menumpukan kepala pada tangan kiri seraya tangan kananya membolak-balik halaman surat kabar dengan malas. Entah bagaimana mereka dididik, namun William dan Arthur lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah dibanding Henry yang hanya menghabiskan beberapa jam saja di dalam Northingham Manor, itupun apabila mereka beruntung dapat menemukannya sudah kembali pada tengah malam. Tidak ada yang mengetahui apa yang sebenarnya pria itu lakukan di luar sana, tidak dengan saudaranya, tidak juga ibunya. Pada meja persegi kecil di sudut ruangan, Isabella menyambut kedatangan Miss Pierce yang tidak terduga. Keduanya memakan beberapa makanan ringan dan kue kering sembari menunggu pelayan mengantar teh hangat sore hari. Mentari sudah bergeser ke ufuk barat, burung-burung gereja masih berterbangan bebas. Rintikan hujan pertanda tidak menentunya iklim di Inggris sibuk menyambut siapapun yang hendak menikmati senja.
Dentingan lonceng besar berasal dari pabrik yang berjarak hanya satu kilometer dari Northingham Manor, terdengar nyaring memecah keheningan di bawah langit kejinggaan nan indah. Di luar sana, para kusir mulai memasukkan kuda-kuda yang telah mereka mandikan di sungai dan menutup istal dengan rapat serta munguncinya. Beberapa penjaga turut meninggalkan pos jaganya untuk menikmati high tea yang sebentar lagi akan berlangsung di pekarangan belakang Northingham Manor.
Mary Pierce—memainkan jemarinya—kala Isabella terus memilih kue kering mana yang hendak ia makan pertama kali sebelum teh hijau nya disajikan. Isabella yang melihat gerak gerik tak biasa dari sahabatnya itu akhirnya mengalihkan fokusnya dari kue menuju kegelisahan yang tergambar sempurna di wajah Mary.
"Ada yang hendak kau bicarakan, Mary?"
Ia terlihat mengangguk, sedikit ragu. "Katakan saja, aku tidak akan menghakimimu."
Kali ini Isabella memilih roti lapis daging kambing dan memakannya setengah sebelum Mary melanjutkan apa yang hendak ia katakan.
"Aku—terlilit hutang. Bukan aku—namun ayahku, di Bath."
Pada meja bundar, William sedikit menoleh pada Mary lalu kembali pada surat kabar yang masih dengan malas ia baca, "Kau tidak dapat datang begitu saja hanya untuk meminjam uang pada rekanmu."
Eleanor menginjak kaki William keras, menyuruh pria itu diam.
"Oh Tidak—aku tidak akan meminjam uang dari kalian," sekarang Mary memandang Isabella, "aku harus tinggal di rumah pekerja dan kau tahu betapa buruknya tempat itu..."
"Mary! Tidak ada tempat yang lebih buruk dari rumah pekerja, apa yang telah kau lakukan?"
"Aku tidak melakukan kejahatan apapun, aku bersumpah! Hanya saja ayahku memiliki utang besar pada keluarga Chayton dan ia meninggalkan rumah malam itu dan tidak pernah kembali—"
"Singkat kata, ia melarikan diri" timpal William lagi yang ternyata masih memasang telinganya pada percakapan antara Mary dan Isabella.
"Tidak, ia menelantarkanku."
"Mary... kenapa kau tidak menceritakannya lebih awal?"
"Aku—kau baru saja menemui kekasihmu tadi, aku tidak sampai hati untuk merusaknya, Isabella."
Isabella menaruh potongan tomat yang ia kecualikan dari roti lapis tadi, "apabila kau harus tinggal di rumah pekerja, lantas mengapa kau bisa berada di sini?"
"Aku kabur."
Kali ini bukan hanya William yang memerhatikan keduanya, namun Eleanor dan Arthur turut terkejut mengetahui bahwa perempuan itu baru saja kabur dari rumah pekerja. Eleanor sampai-sampai salah memotong tangkai bunga yang sedang ia rangkai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isabella and The Duke (On Hold)
Historical FictionIsabella Collins; Seorang wanita yang mandiri, periang, dan cukup beruntung bagi seseorang yang hidup pada masa industrialisasi Inggris. 1863 bukanlah tahun yang baik kecuali karena ia dipertemukan kembali dengan keluarga terhormatnya dan hidup dala...