Chapter LII

1.2K 152 89
                                    

 Keadaan Foster muda sudah membaik. Meskipun wajahnya dipenuhi lebam keunguan—dan begitu juga dengan beberapa bagian lengannya—pria itu dapat bertahan melewati masa kritis yang ditakuti para dokter Istana. Northingham Manor sama sibuknya seperti hari-hari biasa, setelah kemarin sang tuan muda Isabella melihat gaunnya di London, Henry menemui dan menghabiskan seharian suntuk di kamar koleganya—terlepas dari semua yang mereka bicara—Henry tidak mengatakan apapun selepas meninggalkan kamar Foster. Ia melenggang masuk ke kamarnya, menghabiskan sore dengan membaca koran-koran usang, lalu bergabung dalam makan malam tanpa adanya hasrat untuk hidup dalam dirinya. Kelihatannya Sarah telah membawa dampak besar bagi adipati baru ini; selain ia terlihat lebih pendiam, buruknya—ia lebih tidak peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Henry memang terlahir tanpa disertai kepekaan dalam hatinya; begitulah Isabella menggambarkan bagaimana dingin, cuek dan arogannya pria itu terlebih ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Northingham Manor selepas menyelesaikan studinya; atau bisa dibilang begitu, selama dua tahun di barat daya London.

Diamnya Henry sepertinya cukup membuat gusar beberapa pelayan, salah satunya pelayan pribadi, Mr. Woods. Dalam pandangannya, tuan muda itu bagaikan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Henry memang tidak mudah dibaca—baik diralat; ia tidak pernah bisa dibaca, bahkan oleh keluarganya sendiri. Namun bagi para pelayan rumah tangga yang terbiasa dengan celotehan penuh sarkasme Henry, bungkamnya ia memberi kesan kehilangan. Hanya satu dua pelayan yang masih berani menyapanya, yang lain memilih untuk tidak berbicara dibanding mereka harus diomeli panjang lebar.

Meskipun siang ini mentari bersinar seperti biasanya, namun Henry masih tidak berubah. Ia membuka koran secara kasar, melipat satu kakinya serta memainkan pena kering dengan jemari tangan kanan; untuk mencoret-coret kertas penuh tulisan yang tak selesai. Ia mulai untuk menghirup tembakau gulung dengan kotak seng setengah berkarat bertuliskan sesuatu yang mulai pudar. Namun ia bukanlah perokok yang handal. Berkali-kali Mr. Woods harus terbelalak mendengar batuk kecil yang keluar dari sang adipati akibat beberapa asap yang masuk ke tenggorokannya. Menyadari tatapan canggung penuh kekhawatiran dari Mr. Woods, Henry berdeham berat, "Jika ada yang ingin kau katakan, saranku adalah lakukan—meskipun aku tahu rasanya hanya akan ada ceramah yang keluar dari mulutmu, namun aku masih sanggup menerimanya. Semoga saja."

Alih-alih menatap mata sang adipati sebagai norma kesopanan, Mr. Woods memilih memandang kedua kakinya yang simetris sebagai upaya untuk membuang pandangan dari Henry yang terus menatapnya serius.

"Aku memang memiliki banyak waktu tapi bukan berarti kau dapat membuang waktuku hanya untuk membuatku penasaran, Woods, cepat katakan."

Namun Henry sedikit tidak senang pula dengan diamnya Woods yang penuh curiga di hadapannya. "Aku tidak senang dengan apa yang kau lakukan saat ini. Apabila ini mengenai kebiasaan baruku untuk merokok, maka ambilah," Henry menyodorkan kotak kecil berbahan seng itu ke arah Mr. Woods, "dan buanglah."

"Tidak, tuan—maksud saya, ya! Saya tidak setuju—kurang setuju! Bahwa anda memulai kebiasaan merokok ini" tidak seperti biasanya, sudah beberapa hari kebelakang Woods pasti terbata-bata ketika bicara langsung pada Henry; mengingatkan bagaimana keadaannya ketika pertama kali bergabung menjadi pelayan pribadi dari Thomas Collins.

Suasana kediaman Northingham Manor dapat dikatakan pada masa yang kelam, terutama setelah wafatnya George Collins, ayah dari Thomas Collins karena infeksi paru-paru kronis. Semasa hidupnya ia adalah perokok yang aktif, mungkin ini salah satu sebab Mr. Woods tidak senang Henry mulai merokok—karena Northingham Manor akan mengulang nasib yang sama setelah kepergiannya kelak; bukan karena kehilangan pemegang gelar yang dingin, ketus dan arogan namun akibat terjadinya perebutan kekuasaan.

Satu-satunya hal yang dapat menghancurkan keluarga para bangsawan adalah gelar yang bahkan tidak bisa mereka bawa mati. Begitu wafat, terlepaslah seluruh gelar itu untuk diwariskan pada penerusnya. Maka mereka merebutkan sesuatu yang tidak berarti, begitulah pendapat seorang pelayan yang dibesarkan di gubuk kecil di Selatan Bath.

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang