Istana
Demam Henry tak bertahan lama. Kelihatannya demam pun tak begitu bersahabat dengan pria satu itu. Henry sudah membaik, namun ia belum beraktivitas sesibuk biasanya. Bubur hangat sudah tersedia dengan segelas madu yang tak kalah hangat, ia sudah sibuk dengan beberapa gulung surat di meja tulis. Ia membaca gulungan itu satu per satu, mencoret beberapa kata di dalamnya, lalu membuangnya ke kasur. Selimut masih kusut tak berbentuk, bantalnya pun masih berjatuhan di lantai. Henry masih menggunakan gaun tidur yang ia pakai saat terbangun tengah malam tadi. Ia sedang benar-benar serius, surat-surat itu terbengkalai sehari saat ia sakit kemarin. Surat itu di terima Arthur pukul tujuh malam yang dibawa oleh kereta kuda. Beberapa map juga berstempel biru dengan cap si kepala parlemen. Semuanya berasal dari Istana, dan Henry harus menyortirnya saat itu juga. Setelah ia selesai, ia harus membawanya kembali ke Istana. Ia mengganti bajunya dengan bantuan si ketua pelayan, bahkan mengganti baju saja butuh waktu empat puluh lima menit.
Henry menuruni tangga dengan cepat, menuju ruang makan dan melihat semuanya sudah berkumpul.
"Oh syukurlah kau sudah bangun!"
"Untungnya aku demam, bukan mati." Mendengar celotehnya itu, hati Isabella menjadi tenang. Setidaknya Henry sudah kembali seperti biasanya. Henry hanya memakan rotinya sedikit, lalu bergegas untuk pergi ke Istana. Ia pamit kepada ayah dan ibunya. Namun tak lama setelah ia keluar, ia kembali muncul di ambang pintu.
"Ada yang mencarimu, Isabella. Di depan." Ia lalu tak terlihat lagi. Isabella segera merapikan serbetnya, memberi hormat kepada paman dan bibinya, lalu berlari kecil menuju pintu utama.
"Mary?" Isabella tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Perempuan di gerbang masuk itu menjerit dan berlari memeluk Isabella erat.
"Kau serius? Ini benar Mary temanku di Easton?" Mary mengangguk kencang, ia kembali memeluk Isabella. Tanpa menunggu lama, Isabella mengajak Mary masuk. Ia menyajikan roti panas dengan selai cokelat, serta susu vanila panas.
"Lihat! Aku menggunakan anting-anting pemberianmu" Isabella menunjuk telinga kirinya.
"Syukurlah kalau kau menyukainya. Aku sempat ragu, aku takut kau tidak menyukai merah"
"Kau ini! Kalau aku boleh tahu, kau mendapat alamat ini dari mana?" Isabella tak menyangka kalau Mary dapat menemukan alamatnya di seantero Britania.
"Well, aku ingat kau pernah mengatakan Northingham Manor sebagai alamat pamanmu. Namun aku sempat lupa, dan aku melihatmu di Istana tempo hari!"
"Kau datang ke pesta dansa? Jangan bercanda. Aku tidak menemukanmu."
"Aku datang, Isabella, namun aku bukan dari keluarga berada. Jadi aku tertahan di gerbang masuk. Aku melihatmu bersama seorang lelaki, mungkin ia lelaki yang setiap hari kau ceritakan selama di Easton, siapa namanya? Aku lupa."
"Mr. Hougham!"
"Ah iya Mr. Hougham! Penilaianmu benar, ia laki-laki yang sangat tampan. Tatapan matanya teduh, ia membuat hati wanita merasa damai."
"Ayolah Mary, aku tak pernah salah menilai seseorang." Keduanya tertawa, sesekali memakan roti panas. Tawa mereka terpotong saat melihat Arthur berlalu di hadapan mereka. Seraya menyadari bahwa ada dua orang wanita di ruangan itu, Arthur segera menundukkan kepalanya, menyapa Mary yang duduk manis di sofa krim.
"Aku harus ke istana, kurasa Henry melupakan berkasnya yang satu ini." Ia menunjukkan tiga gulungan kertas. Dua terikat dengan pita biru, satunya terikat dengan pita merah. Isabella menatap Mary, dan keduanya tersenyum licik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isabella and The Duke (On Hold)
Tiểu thuyết Lịch sửIsabella Collins; Seorang wanita yang mandiri, periang, dan cukup beruntung bagi seseorang yang hidup pada masa industrialisasi Inggris. 1863 bukanlah tahun yang baik kecuali karena ia dipertemukan kembali dengan keluarga terhormatnya dan hidup dala...