Chapter III

5.3K 461 6
                                    

London

Ia terdiam, menatap jendela dengan kedua matanya yang sayu. Membiarkan air matanya menetes, membiarkan luka dihatinya memudar. Berita kematian tak akan pernah menjadi hal mudah bagi setiap orang, percuma menyalahkan tuan waktu karena ia tak akan pernah bisa kembali pada saat ayahnya disana, dengannya, membacakan cerita, bermain lampion, mengayunnya di ayunan yang baru ayahnya buat untuk hadiah ulang tahunnya yang ke enam, mengajarkannya berdansa, dan membelikan anting-anting pertamanya. Ayahnya memang tidak kaya, namun ia selalu merasa cukup walaupun hanya dengan kehadiran ayah dan ibunya.

Lonceng-lonceng gereja berdentang, terlihat banyak wanita muda yang berjalan menuju gereja. Isabella mengusap air matanya pelan dan beranjak. Ia melipat surat yang didapatnya lalu memasukkannya ke dalam kotak pribadinya. Ia membangunkan wanita muda yang sekamar dengannya.

"Mary---" . Seraya memahami, wanita muda itu segera memeluk Isabella erat. Wanita itu, Mary, berusaha meredam tangis Isabella dalam pelukannya. Ia tahu bahwa terkurung untuk empat tahun dalam asrama wanita bukanlah hal yang diinginkan oleh anak-anak perempuan Inggris, apalagi untuk dilarang menghadiri pemakaman ayahnya sendiri.

"Saatku tinggalkan tiga tahun silam, kesehatannya memang sudah sangat buruk-- tapi ia janji untuk berkunjung dan menemuiku saat kelulusan nanti" Isabella melepaskan pelukan dari sahabatnya itu. Ia kembali duduk di kursi dekat jendela dan menatap langit biru diatas sana. Berharap akan ada seseorang yang mencarinya, berharap ada seseorang yang mengunjunginya, berharap ada seseorang yang merindukannya.

Selain kedua orangtuanya.

---

Hari kelulusan tiba, semua wanita muda itu berkumpul di halaman gereja menunggu kata sambutan dari kepala sekolah. Lapangan itu sangat penuh, keluarga dari murid sudah berdatangan, Bella mencari keberadaan ibunya. Ia sudah mengirim surat kelulusannya sejak dua bulan yang lalu, yang ia harapkan sekarang adalah surat itu sampai di tangan ibunya.

"Isabella!" empat orang di ujung sana melambaikan tangannya pada Isabella. Wajah antusias Isabella seketika hilang, ia meremas kertas yang sedari tadi sudah ia bawa.

"Paman Louis" Isabella tersenyum, mencoba menghapuskan kekecewaan dalam dirinya. Ia jalan mendekat dan memeluk pamannya itu. Bibi Kate, bibinya, juga membawa serangkai bunga di tangannya.

"Tak ku sangka, sudah tiga setengah tahun semenjak kedatanganmu di London dan aku sudah tidak sabar menyambutmu di rumahku, Isabella"

"Bella saja, panggil aku Bella, paman" Isabella menerima rangkaian bunga dan memeluk bibinya, "Terima kasih bibi, bunganya sangat indah".

"Hello Will, hai Arthur," kedua anak laki-laki paman Louis melepas topinya dan mencium punggung tangan Isabella "Mantel yang bagus" lanjut Isabella. Kelimanya duduk di bangku yang sudah disediakan, mendengarkan segala ocehan kepala sekolah dan mengikuti segala prosesi kelulusan. Setelah segalanya selesai, William dan Arthur mengangkat koper kayu besar milik Isabella dari asramanya menuju kereta kuda. Mary melepas sarung tangannya dan memeluk Isabella erat, "Kita akan tetap bertukar surat kan, Bella?". Bella mengangguk, menghapus air matanya dengan sapu tangan dan melepaskan pelukannya. Sulit rasanya berpisah dengan seseorang yang sudah tiga tahun lebih memahami dan mengenal dirinya, mendengarkan keluh kesahnya, membagi suka maupun duka bersama, dan kini mereka harus berpisah, kembali pada keluarganya masing-masing.

"Kuharap pamanmu memperlakukanmu seperti ayahmu menyayangimu", Mary memberi kotak kecil terbungkus kain berwarna krim "Kau buka di rumah saja ya". Isabella mengangguk dan memeluknya untuk terakhir kali, sebelum ia meninggalkan asrama Easton dengan keluarga pamannya.

Kereta kuda itu sangat besar, cukup besar untuk lima orang di dalamnya. Sebenarnya kereta kuda itu cukup untuk enam orang, namun anak sulung paman Louis tidak ikut menjemput.

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang