Chapter XXX

2.3K 241 26
                                    

Henry terdiam, nafasnya tercekat dengan tatapan lurus kosong kepada ayahnya. Bukan hanya ia yang takut, anak laki-laki di ambang pintupun gemetar tak karuan saat kalimat itu ia lontarkan begitu saja. Henry menoleh dengan kaku ke sumber suara dimana Arthur, yang sebentar lagi akan tumbang, berdiri dengan menyandarkan seluruh tubuhnya pada daun pintu jati. Mrs. Collins masuk dengan rambut terurai setelah mendengar kegaduhan dari tempat istirahatnya di lantai dua.

"Ada apa ini, Suamiku?" Mrs. Collins mencoba menangkap pembicaraan ketiganya meskipun yang mereka lakukan hanya membatu.

"Aku malu mendengarmu memanggil pria ini 'suami'mu. Kau harus malu, ibu." Henry memotong, disambung dengan tawa dinginnya.

Dengan pergerakan yang mendadak, Mr. Collins menghajar Arthur tepat di wajah yang seketika membuat Mrs. Collins menjerit histeris, berusaha memisahkan keduanya selagi Henry hanya memandang ayahnya dingin.

"Beraninya kau!" Mr. Collins masih mencoba untuk memukuli anak bungsunya yang sudah tersudut di ruangan itu.

"Sampai kapan ayah akan menutupinya? Henry pasti akan mengetahuinya, entah kapan waktunya, tapi ia akan mengetahuinya cepat atau lambat!" Arthur meringis dalam pelukan Mrs. Collins.

"Sudah, hentikan, suamiku! Hentikan!" Mrs. Collins menepis beberapa kali tangan Mr. Collins yang hendak memukul anak dalam pelukannya tersebut.

"Lalu siapa lagi?" Henry kembali membuat ruangan itu sunyi, "siapa lagi yang terlibat dalam pembunuhan ini?"

"Henry, anakku, aku tidak membunuhnya. Kami tidak membunuhnya!"

"Kami?"

"Tolong jelaskan ada apa ini sebenarnya, Louis Collins! Pembunuhan apa? Siapa yang mati terbunuh?!" kali ini Mrs. Collins mulai gerah.

"Penelope" Henry membungkuk, menyentuh luka dalam akibat cakaran Mr. Collins di wajah adiknya, Arthur hanya meringis kesakitan.

"P—Pe—Penelope Pierre?!"

"Benar, dan coba tebak siapa tersangkanya," Henry membantu adiknya berdiri, "Arthur akan ikut denganku."

"Kau menyebar fitnah mengenai ayahmu sendiri, Henry Collins!" Mr. Collins membentak Henry, namun pria itu masih berdiri tegak tanpa perubahan ekspresi sedikitpun.

"Lantas apakah aku harus menyesalinya?"

"K—Kau!"

"Seharusnya aku sudah menyadari ini sedari dulu, aku cukup bodoh untuk mempercayai pria tua keparat untuk mengantar seorang wanita tak berdosa ke dermaga saat itu. Dan—" Henry meremas tangan adiknya, "kebodohanku pula untuk mempercayai keluguan dari saudaraku sendiri." Saat Henry menarik Arthur ke luar ruangan, ia sempat berbalik dan menunjuk ayahnya "Perkaraku denganmu belum selesai, jangan sekali-kali mencoba untuk meninggalkan rumah ini sebelum aku selesai denganmu"

Mrs. Collins yang masih duduk di lantai menangis histeris, entah apa yang ia tangisi, perihal suaminya yang membunuh, anak laki-lakinya yang keji, atau atas nasib anak bungsunya. Ia memberikan tatapan benci pada Louis kala pria itu memutuskan duduk di sofa dengan wajah ketakutannya.

"Bertahun- tahun aku mencoba meredam sifat Henry, Louis. Bertahun tahun! Lantas apa yang bisa kita lakukan saat amarahnya sudah seperti itu? Apa?!"

Mr. Collins beranjak tanpa menghiraukan istrinya.

"Kau hendak kemana?! Jangan menyepelekan Henry, kumohon..."

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang