Chapter LIV

1.1K 157 23
                                    

Dengan senyum yang menyungging sempurna; dengan tangan yang menggenggam erat, Mr. Foster berjanji di hadapan pendeta, sang wali dan para tamu terhormat; "Saya, Sebastian Lenard Foster, menerima Isabella Wilma-Josee Collins untuk menjadi istri saya, untuk memiliki dan mempertahankan mulai hari ini dan seterusnya, untuk lebih baik atau lebih buruk, untuk lebih kaya, untuk lebih miskin, dalam sakit dan sehat, untuk mencintai dan menghargai; dan saya berjanji akan setia padamu sampai maut memisahkan kita."

"Dengan kuasa yang masih dianugerahkan padaku, aku nyatakan kalian suami dan istri."

Isabella tidak percaya bahwa akhirnya ia membiarkan pria itu mengucapkan sumpah sakti nan sakral; yang mengikatnya seumur hidup dan selama lamanya--diucapkan dengan lantang di hadapan para tamu yang mustahil mempertimbangkan bagaimana perasaannya kala ini. Tungkai kakinya lemah, bibirnya berhenti berdoa; setidaknya beberapa waktu yang lalu ia percaya Tuhan akan berpihak padanya. Di tengah hiruk pikuk dan riuh tepuk tangan, kesedihan Isabella dan tundukkan kepala Henry tidaklah lagi berarti. Mrs. Collins menyikut anak sulungnya untuk mendongak, alih-alih menenangkan perasaannya yang hancur. Tidak pernah terbayangkan baginya untuk melepas keluarga yang paling ia sayangi untuk menikah sedini ini. Ia menyeka bawah mata; air mata itu memang tidak terlihat, namun deru napasnya menggambarkan sempurna bagaimana ia telah kalah—terlapau kalah.

Setelah mendapat izin untuk mencium istrinya, Mr. Foster, dengan sekuat tenaga, mendekat. Jika berdiam diri atas derita seseorang adalah bentuk dosa yang berat, maka Isabella berusaha menghindarinya. Ia menerima pergerakan Mr. Foster dan melakukan hal yang serupa; dengan sentuhan hangat tangan Foster pada pipinya dan tatapan tulus yang pertama kali ia sadari, bibir kemerahan itu menyentuhnya tanda disadari. Foster mengelus tengkuk belakang Isabella halus, sentuhan jemarinya membuat Isabella berdegup. Ia melepaskan ciuman seraya ibu jarinya menyeka bibir Isabella penuh makna sebelum melempar kembali senyumnya pada sang pendeta yang sedari tadi memalingkan wajah untuk menghargai keduanya.

"Anda sekalian, marilah menandatangani surat perkawinan disaksikan oleh Mr. Moore dan wali anda Miss Collins, Lord Collins" pendeta itu memberi isyarat agar Henry segera bergabung pada meja panjang yang dirinya hias sendiri semalaman suntuk. Dahi Mr. Moore mengernyit ketika dirinya mendekati Mr. Foster; entah menggambarkan keirihatian atau niatnya menggoda Mr. Foster--yang pasti bukanlah bentuk dari rasa senang hati dan terharunya ia atas ciuman Mr. Foster terhadap Isabella. Sedangkan Henry memutuskan berdiri di samping Isabella tanpa sepatah kata pun; tanpa kata selamat sekalipun.

"Oh lihatlah mereka! Jiwa-jiwa muda yang bergejolak," bisik Lord Foster pada Mrs. Collins yang sebenarnya sedari tadi berusaha menghindarinya, "restu yang diberikan anak sulungmu adalah berkat terbaik bagi anakku dan tak ada bentuk apa pun yang cukup untuk menggambarkan bagaimana aku berterima kasih atas itu, Mrs. Collins" timpalnya dengan suara yang tak kalah kecil dari semula.

Mrs. Collins berdecak dan mendelik tajam melalui ujung matanya; jika pria itu gagal menyadari ketegangan di antara kedua pria di depan sana, maka entah dirinya tidak peka atau memang benar-benar dungu. Alih-alih membalas sapaan ringan dari besan nya, ia memilih untuk mengganggu kedamaian pagi Arthur dengan menarik kursi anak bungsunya dengan tujuannya memaksa Arthur bergabung.

"Anak bungsuku, Arthur, akan melukis Isabella dan Mr. Foster pada jamuan pesta nanti. Benar begitu, anakku?" ujar Mrs. Collins sebagai bentuk pengalihan topik.

Sayangnya Lord Foster tidak memberi Arthur waktu untuk menimpali penyataan sekaligus pertanyaan dari ibundanya, " aku sudah memanggil petugas foto istana. Miss Collin—atau harus kusebut dengan Mrs. Foster kali ini?" pada jeda kalimatnya, Lord Foster tertawa kecil; karena ia menganggap dirinya sendiri jenaka dengan begitu setiap orang akan menghargai leluconnya yang membosankan, namun Mrs. Collins dan Arthur hanya bertukar pandang kesal, "kuharap kalian sekalian menghargai modernisasi yang sedang terjadi di negara kita tercinta ini sehingga mengurungkan niat untuk menggambarkan hari bahagia mereka hanya dengan goresan di atas kanvas."

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang