Chapter XLIII

1.1K 155 20
                                    

              Rasanya tidak lengkap jika tidak membahas mengenai Louis Collins selama ini. Pria yang meringkuk di atas dinginnya lantai tak berkeramik—di kelilingi oleh bau besi yang berkarat di sekitarnya—, ia terus membungkam. Sel bawah tanah itu memang tidak memiliki banyak udara, bahkan pria tua di sampingnya terus menerus sesak napas. Konon, ia dipenjara dua puluh tahun silam dengan tuduhan pengkhianatan terhadap negara. Pengakuannya memang terdengar meyakinkan: mulai dari dirinya seorang aristokrat hingga hal paling konyol sekalipun—ia hampir berhasil menggulingkan pemerintahan sebelumnya. Namun dilihat dari perawakannya, pria itu sudah sulit untuk dikenali, bahkan Louis rela menghabiskan malamnya untuk mengingat siapa pria tua yang selalu menadahkan tangannya seraya meminta ampun pada Tuhan.

Menjadi ketakutan luar biasa bagi para tahanan di sana setiap pintu besi di luar dibuka. Kemungkinannya hanya dua: masuknya tahanan baru sehingga mereka harus berebut udara dengan lebih banyak manusia atau—yang paling mengerikan—adalah penjatuhan hukuman mati terhadap mereka. Hal yang lumrah apabila seseorang ditarik keluar pada waktu yang tidak ditentukan untuk bertemu dengan tiang gantung yang sudah disiapkan. Setidaknya hal tersebut yang diceritakan para tahanan pada Mr. Collins, tahanan baru di Menara London. Sebuah penjara bagi para pengkhianat negara, entah berkhianat terhadap anggota kerajaan maupun pengkhianatan pada parlemen. Semua orang di sana sudah mendapat dakwaannya masing-masing, namun Mr. Collins terus menunggu kabar itu dengan cemas. Pihak yang memasukkannya ke sana bahkan tidak berbicara satu patah kata pun hingga hari ini ia meratapi jendela pasir sembari memandang cahaya matahari yang tidak terlalu terang.

Seorang pria dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi, menggunakan jas luar abu, berjalan menuruni tangga yang terbentuk dari pasir dan batuan sedimen pada masa medieval. Ia terlihat memberi hormat dan salamnya pada sebuah salib yang tergantung di dinding penjara sebelum berjalan mendekati Mr. Collins. Pria itu—dengan wajah tenangnya—tetap memberikan senyum sebelum berdiri dengan jarak 30 cm dari jerujinya.

"Aku mengenalmu, sungguh aku mengenalmu" Mr. Collins beranjak dengan cepat, ia menghantamkan dirinya pada jeruji, cukup membuat pria yang berhadapan dengannya melangkah mundur.

"Salam, Mr. Collins. Sungguh mengedihkan bagiku untuk mendapatimu berada di tempat paling mengerikan di Inggris."

"Beraninya kau menghinaku—!"

"Richard Foster telah mengutusku untuk—"

"Pria berengsek itu! Ia akan mendapatkan apa yang semestinya ia dapatkan! Sampaikan padanya bahwa neraka pun menolak untuk menyambutnya kelak!"

"Aku setuju denganmu, Mr. Collins," dari tangga, pria yang lain turut mendekat. Ia jauh lebih tinggi dan terlihat lebih muda dari yang pertama, "namun lihatlah dirimu, apa yang telah kau lakukan?"

"Sebastian Foster," Mr. Collins meludah tepat di hadapan orang nomor satu di parlemen.

"Kenalkan, rekan ku. Timothy Moore. Apa kau mengingatnya sekarang, Mr. Collins? Pria yang kau bayar untuk mencabut gelar Adipati Romford dari kakakmu sendiri selagi ia masih hidup?"

"Ya, musuh para aristokrat" jawab Mr. Collins tanpa gentar. Namun kedua pria yang berhadapan dengannya paham betul bahwa pria itu ketakutan setengah mati, bahkan tubuhnya terus bergetar.

Mr. Foster memeriksa arloji sakunya "Well, aku tidak memiliki banyak waktu, satu hal yang hendak ku tanyakan, Louis—dan tetap sama," Sebastian merapatkan jaraknya dengan Louis, keduanya hanya terhalang oleh besi jeruji, "kau tak harus mengelak lagi, namun jawablah ini. Apakah ada anggota keluargamu yang terlibat dalam rencana jahat bersamamu?"

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang