Suasana di ruang makan tidak dapat lagi digambarkan setelah tumpukan peti-peti kayu besar disimpan begitu saja pada ujung-ujung ruangan; beberapa diantaranya ditumpuk hingga empat tingkat. Sayur-sayur segar menjulur keluar peti, bersama dengan itu juga cairan-cairan berbau aneh mengalir.
Meskipun baru pukul sepuluh, namun para pelayan sudah mulai membuka peti-peti yang tiba pada tengah malam itu dan Arthur menjadi Collins pertama yang memasuki ruang makan, tak lama diikuti oleh William di belakangnya.
"Fregat itu sudah ditemukan?" tanyanya.
"Tidak mungkin untuk menemukan kapal yang sudah karam, bodoh," timpal William atas pertanyaan saudaranya.
"Lalu mengapa seluruh makanan ini tiba di daratan Inggris?" Arthur bersusah payah untuk tidak tersinggung; meski telah dua puluh empat hidup bersama William, ia masih belum terbiasa dengan hinaan yang kerap kali dilontarkan oleh saudara yang dua tahun lebih tua darinya.
"Selamat pagi Mr. Collins dan Mr. Collins," sapa Mr. Woods ramah. Pria paruh baya itu membawa segulung kertas dan pena, sesekali ia memberi tanda ceklis pada daftar yang ditulis di atasnya. "Barang-barang ini datang dari semenanjung malaka, atau malaya. Apapun itu."
"Tentu," Arthur ikut membuka satu peti berisi buah, "buah-buah ini hanya tumbuh di negara tropis wajar saja jika sulit ditemukan di negara ini."
"Tidak ada rempah?!" serunya setengah meninggi, bahkan Arthur sampai menoleh ke arah pelayan pribadi Henry itu. "atau ada peti yang tertinggal? Mengapa aku tidak menemukan rempah di seluruh kotak?!" ia berjalan masuk ke dalam pintu yang akan membawanya menuju tempat tinggal para pekerja di sayap kiri Northingham Manor.
Mr. Woods kembali; masih dengan nadanya yang tinggi, kali ini ia mencari kiriman yang lain, "apa ada yang melihat kotak dengan cap 'Batavia' dan 'Borneo Utara' di atasnya?"
"Apa yang ada di dalamnya?" Arthur bantu mencarinya.
"Rempah dan teh-teh dari Hindia Belanda, seharusnya mereka di sini. Jika tidak ada, apakah mungkin penyelundupannya tidak berhasil?"
"Penyelundupan?" tanya Arthur.
"Hubungan Inggris kurang bersahabat dengan kerajaan Belanda akhir-akhir ini," komentar Henry yang tiba-tiba bergabung.
"Oh, selamat pagi tuan" Mr. Woods memberi hormat, lalu kembali pada pekerjaannya.
"Begitukah? Setelah kita membantu pangerannya melarikan diri, ini balasan yang mereka berikan?"
"Ini bukan perihal itu melainkan teritorial kekuasaan. Butuh biaya yang mahal untuk dapat membeli teh-teh dengan kualitas baik dari Hindia-Belanda."
"Baiklah," ujar Arthur seraya mengerti meskipun sebenarnya tidak, "ada berapa kapal yang berhasil berlabuh di dermaga kemarin malam?"
"Aku tidak tahu, mungkin satu atau dua."
"Tidakkah itu cukup untuk memperbaiki kondisi Inggris saat ini?"
"Tentu tidak, bodoh. Namun berterima kasihlah pada saudara kita, karenanya kita lebih diutamakan dibanding rakyat lainnya," ketus William yang sedang mengasah ujung anak panah yang hendak ia gunakan berburu siang nanti.
Kepala Arthur menggeleng—jika itu keputusan William, maka mungkin ia masih dapat membantahnya, namun apa daya setelah ia mengetahui bahwa ini semua adalah ide dari Henry; seseorang yang tidak mungkin ia lawan apapun alasannya.
Ketiganya sudah duduk di ruang makan ketika Sarah berjalan di hadapan para tuan muda, dengan tergesa dan rambut yang terurai panjang.
"Demi Tuhan Yesus, apa yang kau lakukan Sarah?!" Mrs. Johns yang sedang mengawasi beberapa pelayan menyajikan sarapan, terbelalak. Sarah terkejut, lalu menggulung rambut dan menahannya dengan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Isabella and The Duke (On Hold)
Ficção HistóricaIsabella Collins; Seorang wanita yang mandiri, periang, dan cukup beruntung bagi seseorang yang hidup pada masa industrialisasi Inggris. 1863 bukanlah tahun yang baik kecuali karena ia dipertemukan kembali dengan keluarga terhormatnya dan hidup dala...