Chapter I

16.4K 730 11
                                    

Dorttingham Alley



Hiruk pikuk pasar sudah cukup menyadarkan Isabella dari lamunannya. Penjual buah itu masih mengharapkan dagangannya di beli dengan mata sedikit melotot padanya. Nona muda itu menaruh kembali Appelnya secara halus, namun kabur secara tergesa-gesa. Ia menyerobot antrean pasar, menginjak genangan air dan terjatuh di kubangan babi. Lengkap sudah penderitaanya di kamis pagi ini. Orang disekitarnya pun menertawainya dengan lumpur di wajahnya. Ia mengucek matanya kasar mencoba untuk tidak menangis di depan umum. Namun ia tahu, semakin lama ia terbenam dalam lumpur, semakin lama juga harga dirinya diinjak-injak. Ia segera bangkit dan kembali berlari cepat meninggalkan pasar.

Dok dok dok

    Pintu diketuk. Lelaki tua berjanggut putih membuka pintu dengan terbatuk-batuk. Matanya terbelalak melihat puteri sulungnya bergelinangan lumpur. Rambutnya acak-acakan, serta sedikit rambut babi yang menempel pada bajunya. Isabella menarik handuknya yang masih terjemur di seutas tali. Menggosokan perlahan ke wajahnya, lalu ke rambut coklatnya. Kerikil kecil menyentuh bola matanya, mata birunya mulai mengeluarkan air mata saat ia mengelapnya dengan pelan.

    "Astaga, Isabella!" seorang wanita paruh baya bergegas menghampirinya. Dengan seember air di tangan kanannya, ia tak segan-segan membanjur Isabella yang masih sibuk mengelap wajahnya di tangga luar.

    "Mama!" terdengar nada kesal darinya, namun ia masih menahan amarahnya. Wanita paruh baya itu meninggalkannya tanpa basi-basi lagi. Ia menuju dapur dan mulai memasukan air kedalam teko. Isabella masuk dan mengganti pakaiannya, ia membersihkan rambutnya dengan air keran di samping rumahnya—di rumah tetangganya—yang terhubung dengan selang menuju kandang babinya. Ia meremas tangannya yang semakin lama terlihat lebam bekas terjatuh tadi.

    "Miss Collins!" sapa lelaki dari jendela atas. Isabella menatap keatas sekilas, lalu meringis. Ia bergegas mematikan keran airnya, namun lelaki itu sudah muncul di sebelahnya.

    "Mr. Hougham!". Lelaki disampingnya tersenyum manis. "kau mengambil airku—lagi—tanpa sepengetahuanku maupun orang tuaku. Kapan kau mau menebus airnya?". Isabella terbelalak, ia tak tahu harus menjawab apa. Untuk makan keluarganya pun mereka susah, apalagi harus membayar air tetangganya yang selama ini keluarganya gunakan. Mr Hougham terkekeh, "Aku bercanda". Isabella sedikit lega, ia kembali memegang knop airnya lagi—"jadi, aku boleh menggunakannya lagi? Rambutku belum benar-benar bersih". Mr. Hougham memutar kerannya lagi dan membantu Isabella membersihkan rambutnya. Mereka berbincang-bincang ringan, sesekali lelucon Mr. Hougham membuatnya tertawa. Ia menyadari bahwa tidak ada laki-laki yang sangat mengasyikan selain Mr. Hougham.

    "Christopher! Christopher Hougham!" teriakan itu terdengar dari dalam rumahnya. Lelaki itu menatap Isabella sekilas, lalu masuk kedalam rumahnya. Isabella yang sudah beres pun bergegas masuk kerumahnya. Teko berbunyi, Isabella mematikannya. Ia mengambil beberapa wortel dari lemari tuanya dan memotongnya kecil-kecil. Ia memasukan air panasnya kedalam gelas-gelas kecil yang sebelumnya sudah ia masukan tiga lembar daun mint. Ia menyerahkannya kepada ayahnya yang terduduk lemas di kursi reot sudut ruangan. Tangannya gemetar saat menulis surat untuk saudara jauhnya di London.

    "Biar aku yang tulis, papa". Isabella duduk di kursi tulis dan mulai mecelupkan penanya kedalam tinta hitam pekat. Untuk setengah jam kedepan, ia menulis semua yang dikatakan oleh ayahnya:

"Untuk Louis di London,

Kamis, 16 November 1858.

Louis, adikku. Kesehatanku sudah sangat menurun drastis dan kuharap kau masih menerima surat ini. Semenjak kematian ayah 20 tahun lalu, aku tak meminta sepeserpun harta darimu, tak sekalipun aku menyatakan bahwa aku adalah kakak dari seorang Adipati di London. Namun uang warisan ayah kita telah habis untuk pengobatanku, aku tak punya apapun selain rumah kecilku, 5 babiku dan keluarga kecilku. Kuharap kau dapat mengunjungiku suatu saat dan bersedia untuk membeli seluruh harta benda milikku. Kuharap aku bisa bertemu adikku untuk sekali lagi.

Isabella and The Duke (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang