"Manusia serigala Likantrof atau Likan adalah sebuah mitos dari Eropa Kuno berupa monster setengah manusia dan setengah serigala. Konon manusia serigala akan berubah pada saat bulan purnama tiba saat kekuatan mistiknya mencapai puncaknya. Dalam mitologi tersebut, manusia serigala senantiasa akan memburu manusia dan yang tergigit atau terkena cakarannya akan menjadi salah satu dari manusia serigala. Dikisahkan bahwa manusia serigala hanya bisa mati jika ditembak dengan peluru perak."
Hera menutup buku sejarah tersebut, lalu dia membenarkan letak kacamata bulat nya yang merosot itu kemudian menghela nafas panjang. "Aku tidak percaya kalau werewolf itu adalah monster," ucapnya. "Entahlah mengapa aku berfikiran seperti itu, tapi yang jelas hatiku mengatakan demikian," lanjutnya.
Hera beranjak dari kursi yang ia duduki lalu menaruh buku itu ke rak khusus buku-buku sejarah kuno.
Ia tersenyum, sudah banyak yang ia ketahui tentang werewolf atau manusia serigala hari ini. Hera memang menyukai hal-hal yang berbau sejarah. Dia berkuliah pun mengambil jurusan Arkeolog dan Sejarah di Universitas Johannes Gutenberg Mainz, Jerman.
Hera mendapatkan beasiswa di Universitas itu, jika tidak mana mungkin Hera mampu membiayai pendidikannya. Apalah daya, Hera hanya seorang gadis panti asuhan. Orang tua nya? Ia sendiri pun tidak tau, ia hanya memiliki sebuah kalung liontin berbentuk pedang dengan tujuh permata berjejer namun permata itu hilang entah kemana. Kata ibu panti, kalung dan juga secarik kertas bertuliskan namanya itu ditemukan di dalam keranjang bayi Hera kecil. Hera yakin itu adalah penginggalan dari orang tua nya dan liontin itupun menjadi satu-satunya petunjuk untuk menemukan orang tua Hera.
"Mrs. Steve, aku pergi dulu," pamit hera pada Mrs. Steve penjaga perpustakaan ini. Mrs. Steve menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan aktivitasnya dalam mendata buku.
Hera melangkah keluar gedung dengan senyum mengembang. Hari ini dia selamat karena tidak mendapat bullyan dari ratu bully, namun entahlah besok. Hera hanya mampu menahan rasa sakit jika di caci maki oleh mereka. Apalah daya Hera yang lemah ini.
Hera berhenti di depan halte, kemudian masuk ke dalam bus. Bus itu mengantarkan Hera ke halte terdekat apartemen kumuh yang ia beli dari uang beasiswa itu.
Dia memang tidak tinggal di panti lagi sebab dari panti menuju Universitas nya memerlukan waktu yang lama sekitar tiga jam, oleh karena itu dia memutuskan untuk membeli apartemen itu karena waktu yang di tempuh hanya 10 menit saja jika menggunakan angkutan umum.
Hera masuk kedalam apartemen nya untuk berganti baju kemudian pergi lagi untuk bekerja paruh waktu di Starbucks terkenal di kotanya.
Biasanya dia membawa baju itu tapi hari ini baju nya ketinggalan. Hera bekerja tentu saja untuk melangsungkan hidupnya, uang beasiswa tidak akan cukup untuk biaya hidupnya maka dari itu Hera harus banting tulang. Pekerjaan nya dimulai pada pukul 4 p.m s/d 10 p.m.
"Hai, Jose!" sapa Hera pada rekan nya
Merasa namanya di panggil, Jose yang sedang mengelap meja itu mendongak. "Oh, hai," sapanya balik sambil tersenyum.
Jose adalah teman nya di kedai ini. Usianya 3 tahun lebih tua dari Hera. Hidup Joselyn sedikit beruntung karena masih memiliki nenek yang sayang padanya meskipun orang tua Jose sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Setidaknya dia masih ada tempat untuk mengadu tentang kejamnya dunia ini. "Kau baru sampai?" tanya Jose
"Heum, seperti yang kau lihat," jawab Hera sambil memakai apron hijau khas karyawan Starbucks. Hera menghampiri Jose kemudian mengelap meja yang masih sedikit berdebu. "Seperti nya baru buka, hilang lagi?"
Jose mengangguk. "Ya, kau tau kan Mr. Frank itu sudah pikun. Tadi dia lupa lagi dimana menaruh kunci kedai, jadilah kita semua mencari benda itu," Jose menggeleng. "Entahlah aku pun kurang mengerti jalan fikiran orang tua itu. Padahal dia memiliki anak yang banyak, kenapa tidak suruh anaknya saja mengelola kedai ini." Jose berkacak pinggang sambil menyeka keringatnya.
Hera mengendikkan bahunya. "Entahlah, aku pun sama," jawab Hera. "Tadi, dimana lagi Mr. Frank menaruh kuncinya?" tanya Hera lagi
"Bukan di taruh tapi di lempar."
Hera mengerutkan keningnya. "Di lempar?"
"Iya, kau tau anjing Bulldog milik Mrs. Weber?"
Hera mengangguk. Ia sangat hapal anjing yang di benci bosnya itu. Mrs. Weber adalah tetangga Mr. Frank, dia adalah janda yang hanya tinggal dengan anjing kesayangannya itu.
"Nah, anjing tua dan jelek itu pup di sepatu kesayangan Mr. Frank alhasil pak tua itu melempar anjing itu dengan kunci kedai yang kebetulan ada di tangannya."
Hera tertawa mendengarnya
"Lalu, bagaimana kalian dapat membuka pintu?" tanya Hera lagi.
"Kami memanggil ahli kunci."
Tawa Hera masih terdengar dan itu membuat jose kesal. "Kau beruntung tidak ikut menunggu disini tadi, kau tau kan menunggu itu tidak enak,"
Lagi-lagi Hera tertawa. "Ah iya kau benar, menunggu itu tidak enak," Hera tersenyum, hanya disini saja dia bisa merasakan tertawa seperti ini.
Ia juga beruntung karena Jose mau berteman dengannya mungkin karena hidup mereka hampir mirip, sedangkan karyawan yang lain tidak ada yang mau berteman dengannya. Jangankan berteman, tersenyum kepadanya saja tidak. Entahlah, Hera pun tidak tau kenapa padahal hera tidak pernah merasa berbuat salah sedikitpun.
Tring.
Suara lonceng terdengar menandakan bahwa ada pengunjung yang masuk. Dan benar, pengunjung itu adalah seorang pria yang lumayan tampan dan itu membuat Jose bersemangat. "Aku saja," Jose mengedipkan sebelah matanya pada Hera. Hera menggeleng kemudian tersenyum, Jose memang seperti itu selalu bersemangat jika menyangkut pria tampan.
Hera kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda tadi, namun ia merasakan perasaan yang tidak nyaman. Ia merasakan seseorang tengah memperhatikannya secara intens. Hera melihat ke kiri dan ke kanan. Dan benar saja, ketika dia menoleh ke depan ia mendapati pria yang di datangi Jose tadi sedang menatapnya sambil menyeringai yang membuat Hera bergidik ngeri. Hera bergegas menyelesaikan tugasnya lalu kembali ke tempat di mana barista berada.
"Hera, tolong buatkan Venti Caramel Macchiato, sekalian antarkan," pinta Jose.
Hera terkejut. "Kenapa bukan kau saja?" tanya Hera, bukannya dia tidak mau tapi hanya saja dia merasakan perasaan yang tidak enak saat ini.
Jose berdecak. "Ck! Pria tampan itu memintamu untuk membuat dan mengantarkannya," kesal Jose. "Cepatlah! Nanti dia keluar tanduk jika kau lama," lanjutnya.
"Eum baiklah," Hera langsung membuat minuman itu dengan perasaan tak menentu.
"Selamat menikmati," ucap Hera berusaha untuk tersenyum pada pria yang terang-terangan memandangnya ini.
"Se vríka." Lagi-lagi pria itu menyeringai ke Hera membuat wajah tampan pria itu nampak menyeramkan.
"Maksud Anda, Tuan?" tanya Hera yang kurang mendengarkan perkataan pria di hadapannya ini.
"Ah tidak, maksudku terima kasih." Pria itu tersenyum namun masih terlihat jelas senyum miringnya.
Hera tersenyum canggung, kemudian pamit pergi dari sana. Dia masih bingung dengan perkataan pria tadi, jelas-jelas bukan kata 'terima kasih' yang di ucapkannya melainkan bahasa yang tidak Hera mengerti tapi yang jelas logat yang pria tadi pakai adalah logat Yunani yang sedikit dia tau karena ia pernah mempelajarinya. Ah entahlah mungkin 'Terima kasih' dalam bahasa itu adalah yang diucapkan pria tadi.
"Hei, kau melamun?" sebuah tepukan menyadarkan Hera.
"Hah? Iya-Eh tidak," jawab Hera bingung.
Jose menggelengkan kepalanya. "Nampaknya kau banyak fikiran, istirahatlah Hera,"
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Huh, terserah kau saja." Jose pun berlalu meninggalkan Hera yang masih dengan pikiran berkecamuk. Hera memandang pria tadi, tidak ada yang aneh dari penampilan pria itu hanya saja auranya yang membuat Hera tidak nyaman.
Siapa pria itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
HERA [END]
FantasyAwalnya Hera Athena Demeter hanya seorang manusia biasa yang mendapat beasiswa di Universitas Johannes Gutenberg Mainz, Jerman. Namun semua itu berubah ketika ia mendapati fakta bahwa ternyata ia merupakan manusia serigala. Objek yang selama ini ia...