Pengalihan Isu

141 28 90
                                    

Harriett Potter, anak kelas empat dengan kemampuan di bawah rata-rata dalam segala bidang kecuali terbang, tiba-tiba keluar sebagai juara Hogwarts bersama Cedric Diggory.

"Mantra confundus yang kelewat kuat," Hermione berpendapat keesokan harinya ketika sarapan. Ia duduk di antara Regalia dan Ron, "tidak mungkin selain itu."

"Ya, tapi apa tujuannya memasukkan nama Harriett?" Ron menanggapi.

"Sepertinya ada yang sangat ingin Harriett mati dalam turnamen itu," ujar Hermione. "Apakah Kau-Tahu-Siapa masih punya pengikut yang menyimpan dendam pada Harriett?" Lalu Hermione beralih pada Regalia, "Regalia, apakah ada paman dan bibimu yang masih sering membicarakan Kau-Tahu-Siapa?"

"Mana ada penjahat ngaku, Hermione," Ron menggelengkan kepala.

"Selama aku bersama mereka, tidak ada," jawab Regalia, "mungkin karena takut pada Paman Regulus yang sudah menjadi Auror setelah menyadari jika Voldemort hanya memanfaatkan para Pelahap Maut. Juga, jangan menuduh Black dan kerabat-kerabatnya."

Regalia mengalihkan pandangannya ke meja para guru, dan rongga dadanya serasa dicubit ketika melihat Puspita duduk di sebelah Snape dan berbicara seakan-akan mereka sangat akrab, sedangkan Snape tidak menanggapi sama sekali.

"Wanita itu tidak punya malu," bisik Loreen ke telinga Regalia saat itu juga, "masih saja mengejar-ngejar Pak Guru, padahal Pak Guru jelas-jelas telah menolaknya."

"Dia mengejar-ngejar Profesor Snape?" Regalia menatap Loreen.

"Ya," Loreen mengangguk, "dia begitu gigih karena Pak Guru masih lajang."

Regalia melahap sisa sarapannya dengan cepat dan jengkel. Ia tidak yakin, tetapi dia pasti memiliki ketertarikan pada Profesor Snape. Dan rasanya sangat tidak enak, ketika menyadari bahwa ia memiliki perasaan pada seseorang, tetapi tak dapat mengungkapkannya. Jika Puspita yang cantik dan dewasa itu saja ditolak, apalagi Regalia yang jelas masih bocah kemarin sore.

***

Pada pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Regalia merasa begitu membenci Puspita. Pertama, karena guru baru itu menerapkan metode berbahaya dalam mengajar murid-muridnya. Kedua, karena guru baru ini lebih memiliki peluang untuk menjalin kasih dengan Profesor Snape.

Kali ini, Puspita mungkin bosan mencoba membunuh murid-muridnya, sehingga ia hanya memberikan materi tertulis mengenai animagus.

"Satu hal yang pasti," celetuk Puspita, "jangan menjadi animagus untuk mencuri barang orang lain. Di tempat aku berasal, animagus babi hutan yang tertangkap sedang mencuri akan disiksa habis-habisan oleh para muggle agar kembali ke wujud manusianya. Seringnya, animagus babi hutan itu akan mati dalam wujud babi hutannya karena kekerasan. Benar-benar tidak elit. Penyihir terhormat tidak akan mau mati dengan cara seperti itu."

"Dan bagaimana dengan Anda, Miss?" tanya gadis keturunan India bernama Parvati, "Apakah Anda seorang animagus?"

"Bukan," Puspita menggeleng. "Menjadi animagus sangat tidak mudah. Aku dan seluruh luhurku tidak ada yang pernah menjadi animagus."

Kemudian, materi dilanjutkan dengan membahas maledictus, yakni kutukan darah yang akan mengubah seseorang menjadi binatang secara permanen, dan kutukan ini diturunkan dari ibu kepada anak perempuannya.

"Voldemort memiliki seekor ular bernama Nagini, yang merupakan maledictus dari tempatku berasal; Indonesia," Puspita memberikan contoh, "dan saat ini status ular itu adalah hilang."

Puspita memproyeksikan beberapa gambar yang menunjukkan perubahan manusia menjadi ular.

"Makhluk-makhluk ini seringnya menyusahkan," Puspita menjelaskan dengan ekspresi yang menunjukkan betapa ia membenci maledictus, "karena begitu mereka menjadi binatang secara permanen, mereka bisa dipastikan kehilangan pikiran dan naluri manusianya. Mereka bisa dipelihara oleh siapa pun dan menyerang siapa pun."

Choose Among the ChoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang