Harapan

202 29 78
                                    

Setelah Loreen meninggalkannya sendirian, Severus Snape merenungi dirinya sendiri. Tidak mungkin. Sangat tidak masuk akal. Apakah benar begitu? Dia jatuh cinta pada Regalia Black? Jadi, selama ini, pendapat Loreen itu benar? Pendapat hantu itu benar?!

Tetapi, kalaupun itu benar, tak ada yang bisa ia lakukan. Ia merasa bodoh. Benar-benar bodoh. Saat itu Lily, dan kali ini Regalia, menggelincir dari genggamannya, karena sudah dimiliki oleh pria lain. Justru, kali ini lebih bodoh lagi, karena ia terlalu terpaku pada Harriett yang begitu mirip dengan Lily, sehingga ia tidak menyadari bahwa hatinya selama ini menginginkan Regalia. Tidak. Dia tidak menginginkan Regalia. Mungkin, dia membutuhkan Regalia.

Tetapi, sekali lagi, Regalia telah dimiliki oleh orang lain. Kalaupun ada hal yang bisa membuat Regalia lepas dari Percy dan berpindah ke pelukannya, itu hanyalah keberuntungan. Rentetan keberuntungan dan takdir. Tetapi, sebaik apa takdir kepadanya?

Dan setelah bisa melihat hatinya sendiri, barulah ia menyadari betapa menjengkelkannya semua hal yang telah berlalu. Termasuk ingatannya memergoki Regalia sedang berciuman dengan Percy di lemari sapu. Yang lebih menjengkelkan lagi adalah kenyataan bahwa Regalia sungguh menikmati momen itu bersama Percy. Snape berpikir, pasti dirinya sekarang sedang cemburu. Lalu, selain berciuman di lemari sapu, apa lagi yang telah dilakukan oleh sepasang kekasih itu? Mereka bermesraan di setiap tempat tanpa rasa sungkan. Mungkin saja, di ruang rekreasi asrama mereka, yang mana Snape tidak bisa memasukinya, sepasang kekasih itu sering tertidur di depan perapian dengan saling berpelukan, dan tak satu pun teman-teman mereka yang keberatan. Semakin ia menduga-duga, semakin berkeretak api dalam dadanya.

"Pak Guru," tiba-tiba saja kepala Loreen menyembul dari langit-langit.

"Untuk apa kau kembali ke sini?!" Snape merasa kaget karena lamunannya dibuyarkan oleh sesosok hantu dengan cara seperti itu.

"Tidak apa-apa," Loreen tetap di tempatnya, "hanya kepikiran. Mungkin saja kau sedang meratapi nasib dan butuh seorang teman."

"Kenapa aku harus meratapi nasib?" dengus Snape sinis.

"Ya karena wanita yang kau cintai sudah dimiliki orang lain," ujar Loreen dengan jujur.

"Pergilah, Loreen. Jangan membuatku semakin kesal atau kukunci lidahmu dengan mantraku," ancam Snape.

"Ah, tidak asyik," Loreen memberengut, "kau emosian," dan ia pun benar-benar pergi.

***

Pada bulan November, Oliver Wood dan Harriett begitu stres karena quidditch, sedangkan Regalia begitu stres gara-gara pelajaran Arithmancy. Hermione dan Percy mungkin satu-satunya orang yang tidak stres sama sekali, karena kadar ambisius keduanya memang jauh di atas rata-rata.

"Sayang," Percy agak panik ketika mendapati Regalia menangis di sudut ruang rekreasi, dengan buku Arithmancy-nya terbuka lebar, "ada apa?"

"Aku tidak sanggup lagi," Regalia melemparkan dirinya ke pelukan Percy.

"Sudah, sudah, aku akan mengerjakannya, jangan menangis," Percy mengecup kening Regalia, kemudian melepaskan pelukan mereka agar bisa segera mengerjakan PR Arithmancy Regalia.

"Tidak, Sayang, biarkan saja. Biar ibuku tahu jika aku tidak sanggup mengikuti pelajaran ini."

"Baiklah, kubantu mengerjakan Sejarah Sihir saja kalau begitu. Kau pasti lelah."

Sementara Percy mengerjakan PR Sejarah Sihir Regalia, Regalia membaringkan kepalanya di paha Percy sampai dia tertidur di sana.

"Kau mengerjakan PR-nya?" tanya seorang gadis berambut pirang pada Percy, "Enak amat dia!"

Choose Among the ChoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang