Reuni Saudari

104 12 148
                                    

Regalia diperbolehkan bergabung di aula besar untuk makan malam bersama suaminya dan semua orang yang tinggal di Hogwarts. Ia bisa menyaksikan seleksi murid baru. Ia juga bisa memandangi Hydrus yang berada di meja Slytherin, juga Lokabrenna yang berada di meja Ravenclaw.

"Bagaimana hari pertamamu, Sayang?" tanya Severus.

"Sangat baik," Regalia tersenyum cerah, "aku menangani beberapa pasien yang datang berkonsultasi karena stres."

"Sepertinya aku akan menjadi pasienmu secara permanen nanti," ujar Severus.

"Karena kau stres menghadapi murid-muridmu?" Regalia menebak.

"Kau tahu itu dengan sangat baik," Severus menggenggam tangan Regalia dengan mesra.

***

Regulus merasa dirinya begitu kampungan karena tidak dapat menyembunyikan betapa ia heran pada keluarga Wijaya. Mereka sama seperti keluarga Black yang hidup di sebuah alamat muggle. Bedanya, rumah keluarga Black hanya bisa ditemukan oleh penyihir, sedangkan rumah keluarga Wijaya nyata-nyata bisa dilihat dan dikunjungi oleh para muggle.

"Heran?" Puspita menggandeng suaminya memasuki halaman rumah yang penuh bunga-bunga, dan terlihat semakin indah bermandikan cahaya senja.

Rumah itu sangat besar meskipun hanya terdiri dari dua lantai. Dan kendati dipagar besi, kelihatannya rumah itu cukup sering menerima kunjungan dari kerabat maupun teman.

Memasuki aula depan sekaligus ruang tamu, Regulus bisa melihat satu set sofa merah hati yang tampak begitu mungil karena ruangan itu terlampau besar. Di salah satu sisi ruangan, terdapat tumpukan benda-benda yang diduga oleh Regulus sebagai barang dagangan keluarga Wijaya. Di sudut jauh, ada dua tangga yang sama-sama menuju lantai dua.

Di salah satu sisi dinding yang bebas dari ornamen apa pun, tergambar sebuah pohon keluarga yang sangat tua, seperti keluarga Black yang memiliki permadani di rumah mereka. Regulus mengikuti Puspita mendekati gambar pohon keluarga tersebut.

"Amurti sudah menambahkan namamu sebagai suamiku," Puspita tertawa puas.

Tetapi Regulus malah salah fokus pada nama-nama yang ditulis dalam aksara Jawa.

"Itu yang ditanyakan oleh Regalia pada hari pernikahan kita," Puspita menunjuk salah satu nama yang ditulis dalam aksara Jawa itu. "Nenek buyutku yang entah keberapa; Edelweiss Gaunt dari Inggris, keturunan Salazar Slytherin. Ya, Salazar Slytherin, salah satu pendiri Hogwarts. Kau tahu itu, kurasa."

"Ya," Regulus tersenyum pada Puspita, "tapi masih terdengar luar biasa bagiku. Dengan siapa Edelweiss Gaunt menikah? Aku tidak bisa membacanya."

"Darma Wijaya," Puspita menunjuk nama yang ada di samping nama Edelweiss. "Mereka memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu meninggal dunia karena sakit parah di usia remaja, namanya Puspita Lauren Wijaya. Itulah sebabnya, namaku begitu konyol, karena dari merekalah namaku berasal."

"Apa maksudmu namamu konyol?" Regulus menatap heran pada Puspita, "Edelweiss adalah nama yang indah. Dan kurasa Puspita juga indah."

"Kedua nama itu pasti indah jika tidak dirangkai menjadi satu untuk seorang anak perempuan," Puspita mendengus, "karena Edelweiss adalah nama dari bunga abadi, dan Puspita juga berarti bunga. Apa maksudnya memberikan nama-nama yang semuanya berarti bunga?"

"Itu artinya kami kami ingin kau tumbuh menjadi seseorang yang harum namanya," Kundali menuruni tangga, menemui mereka. "Tersohor!"

"Kalian mendapatkannya, kalau begitu," Puspita menatap tajam pada ibunya, "karena tampaknya semua orang di kantor Serikat Sihir membicaran aku dan keputusanku untuk keluar dari Regu Manikmaya dan berpindah menjadi warga sihir Inggris. Aku benar-benar terkenal seantero Nusantara sekarang."

Choose Among the ChoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang