12) Balikan?

378 35 7
                                    

“Gue sadar, gue salah melangkah, gue udah ninggalin rumah yang sebenarnya tempat yang paling gue idamkan untuk pulang. Jadi, untuk kedua kalinya, lo mau, kan, jadi rumah buat gue?”

🍁🍁🍁

Nadia menghentikan langkahnya kala dia menemukan sebuah kursi di taman yang cukup sepi ini.

Nadia tidak pernah menyangka jika dirinya bukan anak kandung dari orang tua yang selama ini merawatnya.

Nadia bukan anak mereka.

Fakta itu sangat menyayat hatinya.

"Kenapa dunia tega sama gue? Apa gue enggak berhak bahagia? Kemana orang tua gue? Kemana mereka? Kenapa gue ada sama ibu? Kenapa enggak sama mereka." Seraya menatap langit malam, Nadia mencurahkan semua pertanyaan di kepalanya, meskipun tahu sampai kapanpun langit malam tidak akan pernah menjawabnya.

"Nad...."

Suara itu, suara milik abangnya.

"Kamu emang bukan anak ibu, tapi ibu sayang sama kamu. Apa pernah kamu ngerasa kalau kamu dianaktirikan?"

Nadia mendongak, dia menatap Langit, abangnya yang kini berdiri di hadapannya. "Kenapa kalian enggak jujur?" tanyanya, dia tidak peduli pertanyaan Langit karena yang menjadi persoalan saat ini, kenapa tidak ada keluarganya yang jujur padanya. Kenapa?

"Semua pasti ada alasannya, Nad," jawab Langit.

"Iya, aku tahu. Terus kenapa?"

Langit menggeleng. "Abang juga enggak tahu, Nad. Abang tahu fakta ini juga baru-baru ini. Abang yakin kalau ibu sama almarhum ayah punya alasan."

"Terus kalau emang Abang udah tahu, kenapa Abang enggak jujur sama aku? Kenapa Abang menyembunyikan fakta sebesar ini sama aku?" Nadia menatap Langit dengan tatapan kecewa, dia kecewa karena Abang yang selama ini dia percaya sudah menyembunyikan rahasia sebesar ini.

"Abang enggak punya hak untuk itu, Nad, tapi yang pasti Abang, ibu sama almarhum ayah sayang sama kamu, Nad. Terlepas kamu anak kandung atau bukan, kami sayang kamu. Kamu tahu kan selama ini Abang enggak pernah menomorduakan kamu, apa itu enggak cukup? Kenapa persoalan ini harus kita bahas? Kita udah bahagia, Nad."

Nadia terdiam, dia sadar apa yang Langit katakan memang benar, tapi tetap saja ada perasaan yang mengganjal.

Langit berlutut di depan Nadia, kemudian menggenggam tangan adiknya itu erat. "Abang sama ibu sayang sama kamu, pulang, yuk!"

"Tapi Nadia bukan an—"

"Kamu anak ibu, kamu adik Abang."

Nadia tersenyum haru sebelum akhirnya wanita tujuh belas tahun itu menghamburkan pelukannya pada sang Abang. Langit membalas pelukan itu, jujur dia memang menyayangi Nadia, sebagai adiknya.

Di ujung sana, ada sosok wanita mungil yang langkahnya terhenti melihat adegan saling memeluk antara kakak dan adik itu.

Sosok itu, Adia.

"Kamu emang sayang banget sama Nadia, Lang."

***

Tentang Adia [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang