8) Menerima Ikhlas

471 45 2
                                    

“Andaikan melupakanmu sama seperti aku mencintaimu, hanya butuh satu detik saja. Mungkin ini semua akan mudah. Akan tetapi, nyatanya ini sulit. Mulut mengatakan ikhlas, tapi hatiku tidak demikian adanya.”

🍁🍁🍁

Belum sempat Adia menanggapi kata putus dari Langit, seorang suster masuk ke ruang inap Langit lengkap dengan menu sarapan untuk Langit tentunya. Adia yang semulanya berada di dekapan Langit, terpaksa menjauh dan itu sangat menguntungkan untuknya karena dengan itu Adia bisa menghapus air matanya.

"Pagi," sapa suster itu ramah, "saya harap sarapannya dihabiskan ya, biar cepat sembuh."

Langit hanya menganggukkan kepalanya.

"Yasudah, saya permisi."

"Terimakasih, Sus."

"Sama-sama."

Adia yang berdiri beberapa meter di depan Langit hanya bisa diam, dia bingung harus apa. Sekarang statusnya bukan lagi pacarnya Langit, melainkan mantan pacar. Bukannya tidak mau mempertahankan, tetapi itu jelas akan berakhir percuma, terlebih dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, Adia tidak akan pernah meninggalkan Langit kecuali Langit sendiri yang meminta dan ya hari ini Langit memintanya dan Adia akan menerima itu.

"Sampai kapan mau berdiri di sana, Mye?"

Adia menggeleng kemudian terpaksa tersenyum. "Enggak tahu, tapi kayaknya aku berangkat ke sekolah aja. Sekarang kamu harus sarapan. Aku enggak mau ganggu kamu. Jadi, aku mau per—"

"Jangan, jangan pergi." Langit memotong.

Adia menatap Langit bingung.

Jangan pergi? Lantas, kata putus tadi apa?

"Ma-maksud gue, gue minta tolong," ujar Langit ragu. Dia tidak tahu ini pantas atau tidak, setalah apa yang dia lakukan pada Adia.

Adia bertanya, "Minta tolong apa?"

"Suapin gue untuk terakhir kalinya."

Deg.

Untuk sesaat Adia terpaku. Namun, kemudian dia sadar. Hanya menyuapi, kan? Tidak apa, Adia, anggap ini balas budi kamu untuk Langit yang pernah menolong kamu dulu. Begitulah sekiranya kalimat yang terlintas di benak Adia sampai akhirnya gadis itu menganggukkan kepalanya. 

Perlahan Adia melangkahkan kakinya mendekat pada Langit, mantannya.

"Sorry kalau lo keberatan."

Adia menggeleng seraya tangannya sibuk mengaduk bubur yang merupakan menu sarapan Langit pagi ini.

"Aaaa...." Adia menyodorkan sendok berisikan bubur ke arah Langit. Langit patuh, dia membuka mulutnya dan memakan paksa bubur rumah sakit itu.

Sebenarnya sangat berat bagi Langit ketika dia harus melepas Adia, tetapi Langit yakin ini yang terbaik untuknya dan untuk Adia. Adia pantas bahagia dengan yang lain, meskipun sejujurnya Langit tidak siap akan hal itu.

Sedangkan, Adia yang hanya membisu itu sedang dilanda gelisah. Hatinya sakit, sangat sakit, tetapi lidahnya kelu untuk sekedar mengatakan apa yang dia rasakan. Terlebih matanya kini tidak lagi bisa mengeluarkan air matanya.

Beberapa menit berlalu, kini sarapan Langit sudah habis bahkan Langit sudah meminum obatnya dan itu artinya kini saatnya Adia pulang. Namun, baru saja ingin beranjak tiba-tiba Langit menariknya ke dekapannya membuat Adia terdiam dan jantungnya yang berdegup tak karuan.

"Maaf, maafin gue, Mye. Gue belum bisa jadi pacar yang baik buat lo, tapi gue mohon izinin gue jadi teman baik lo. Kalau lo sedih, senang atau butuh teman, gue siap."

Tentang Adia [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang