43) Tersadar

271 23 12
                                    


“Manusia tak akan sadar sebelum dia ditegur duluan entah dengan ucapan atau dengan kejadian yang berujung penyesalan.”

🍁🍁🍁

"Ibu, Nadia punya saran. Kalau misalnya nanti kita udah pindah ke rumah dulu mending rumah ini dikontrakkan. Lumayan kan buat tambah-tambah penghasilan. Nanti toko kue punya Ibu kita lengkapi lagi peralatannya."

Pada akhirnya Melly memilih menerima tawaran Erwin bukan tanpa alasan, tetapi dia melakukan ini demi kedua anaknya. Langit sebentar lagi akan pergi ke Jerman dan biaya tranformasi ditanggung oleh pihak Langit belum lagi biaya sehari-hari. Selain itu, Nadia sebentar lagi akan kuliah juga. Melly akan mewujudkan cita-cita sang suami yang menginginkan anak-anaknya berpendidikan tinggi.

"Saran kamu bagus, tapi Ibu mohon jangan dulu bilang sama abangmu. Pokoknya ini kejutan buat abangmu. Janji, ya?"

Nadia mengangguk kemudian memeluk sang ibu erat. "Makasih ya, Bu. Nadia seneng banget Ibu mau berdamai sama masa lalu. Nadia yakin di surga ayah bangga lihat Ibu."

"Ibu juga terimakasih sama Nadia dan abangmu yang udah enggak lelah bujuk Ibu buat damai. Ibu sekarang ikhlas. Fokus Ibu sekarang itu sama anak-anak Ibu yang udah pada gede-gede. Nanti Nadia pasti ninggalin Ibu."

"Enggak, Nadia enggak akan ninggalin Ibu." Nadia membantah seraya mengeratkan pelukannya membuat Melly spontan mengelus surai sebahu milik Nadia.

"Kamu pasti menikah, Nadia. Masa udah nikah mau ajak Ibu sih?"

"Ya enggak papa. Pengin sama Ibu selamanya. Nadia bakalan bawa Ibu kemanapun Nadia pergi. Layaknya Ibu sama mendiang ayah yang bawa Nadia dari panti asuhan. Kalian orangtua yang baik buat Nadia. Bantu Nadia buat balas itu, Bu. Nadia mohon."

Melly tersenyum tipis sebelum akhirnya mengurai pelukannya dan menangkup wajah sang putri. "Nadia, kamu anak Ibu dan ayah. Terlepas mau kamu dari panti asuhan, dari rahim ibu, yang pasti kamu anak Ibu."

"Ka-kalau boleh tahu ... di mana orang tua kandung aku, Bu?" tanya Nadia agak gugup.

Melly menggeleng. "Ibu enggak tahu, Sayang. Waktu Ibu tanya ibu panti katanya kamu disimpan di depan pintu panti, padahal waktu itu katanya kamu baru dilahirkan."

Raut wajah Nadia berubah sendu membuat Melly tersenyum meyakinkan. "Enggak usah sedih kan Nadia punya Ibu. Ibu itu Ibu Nadia, jangan dipikirkan kandung atau enggaknya."

Senyum Nadia perlahan kembali terbit di wajah manisnya. "Makasih ya, Bu. Nadia sayang Ibu."

"Ibu lebih sayang kamu," balas Melly tulus, "kayaknya kita tunggu abangmu di ruang tamu, yuk. Abang kamu enggak biasanya pulang telat, tapi enggak papa jadi rencana kita buat rahasiakan soal tawaran pak Erwin berjalan mulus."

"Langit udah denger semuanya."

Sontak Nadia dan Melly menoleh ke arah pintu kamar Melly dan mendapati Langit yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Kenapa kalian main rahasia-rahasia gini?"

"Biar kejutan aja," jawab keduanya kebetulan kompak.

"Abang marah, ya?" tambah Nadia bertanya.

Langit menggeleng kemudian maju mendekati keduanya dan memeluk keduanya membuat adik dan ibunya itu tersenyum senang. "Langit enggak marah justru Langit makasih sama kalian. Kalian masih mikirin Langit, sedangkan Langit sendiri belum tentu begitu. Langit beruntung punya kalian. Langit juga sayang kalian."

Andrew benar tidak seharusnya dia larut dalam kesedihannya akibat perempuan, sedangkan dirinya sendiri lupa jika di rumah ada perempuan yang jauh bersedih karena memikirkan dirinya.

Tentang Adia [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang