45) Pelukan Terakhir

311 27 2
                                    


“Izinkanku memelukmu untuk terakhir kalinya sebelum nantinya ada orang yang menggantikan posisiku di hidupmu.”

🍁🍁🍁

"Ngapain tadi lempar-lempar makanan kayak gitu?"

Karin menghadang langkah Adia yang akan masuk ke rumah. Karin melihat Adia yang dengan kasarnya melempar kantong plastik berisikan eskrim ke hadapan Langit. Karin tahu jika itu isinya eskrim karena Karin sempat bertanya pada putranya, Aksara.

"Dosa, Ad. Itu makanan, lho. Kalau mama tahu pasti mama juga sedih lihat kamu kayak gitu. Adia yang kita kenal bukan Adia yang kasar apalagi enggak menghargai makanan," sambung Karin.

"Adia minta maaf, Adia salah." Adia menunduk, dia sadar dirinya salah.

"Ada masalah apa kamu sama Langit? Bukannya kamu masih cinta sama dia?"

Adia mendongak menatap sang kakak ipar. "Kata siapa? Adia udah enggak ada perasaan kok sama dia."

Karin mengulas senyumnya sembari geleng-geleng kepala. "Adia, Adia. Kamu enggak pandai bohong. Kelihatan banget kamu masih cinta sama Langit, tapi ada hal yang maksa kamu buat lupain dia. Iya, ‘kan?"

"Iya, Adia ngerasa enggak pantas aja buat dia." Pada akhirnya Adia memang tak bisa menutupinya.

"Kenapa? Kenapa ngerasa enggak pantas?"

"Karena aku cucu dari orang yang udah bikin ayah Langit pergi."

Ada rasa nyeri di ulu hatinya kala Adia harus mengungkapkan fakta itu.

"Jatuh bangun dunia bisnis itu hal biasa. Untung rugi pun itu hal biasa, Adia. Kamu jurusan IPS, ‘kan? Kamu tahu itu," ujar Karin. Karin bukannya membela keluarga sang suami, hanya saja masalah ini memang bukan salah siapa-siapa.

"Tapi sama aja, Kak. Kalau aja waktu itu kakek Erwin enggak ajak ayah Langit kerjasama mungkin kejadian enggak kayak gini, Kak, pasti sekarang Langit lagi bahagia sama ayahnya, adiknya, ibunya. Keluarga Langit enggak perlu menderita bertahun-tahun," jelas Adia yang memang merasa jika ini berawal dari Erwin. Sumber masalahnya adalah kakeknya sendiri.

Karin menghela nafasnya, kemudian mengusap pundak sang adik ipar. "Terserah kamu mau anggap gimana, tapi yang pasti kakek udah tanggung jawab, dan itu udah cukup, Ad. Kalaupun memang kamu ngerasa udah enggak bisa lagi sama Langit. It's okay, kamu bisa kok move on, tapi bukan dengan cara kayak gini. Bukannya kamu lupa sama Langit, malah makin kepikiran."

"Terus aku harus apa, Kak?"

"Berdamai, itu kuncinya. Kamu harus berdamai sama Langit dan juga semua hal yang berkaitan sama dia. Dengan cara itu Kakak yakin kamu bisa sepenuhnya ikhlas."

***

"Yang udah enggak ada doi, inget markas juga nih."

Langit mengabaikan sindiran Rean terhadapnya. Akhir-akhir ini Langit memang jarang berkumpul di markas komunitas Vespa Nusba. Bukan karena dirinya masih memiliki Adia, tetapi Langit hanya ingin fokus pada pendidikannya saja.

"Kusut amat sih, Lang. Ngapa dah?" tanya Rean sembari mendudukkan diri di samping Langit.

"Biasalah galau karena ditinggal," celetuk salah satu dari mereka.

"Udah kali galaunya, Lang. Cewek bukan cuman Adia doang."

Langit memejamkan matanya sejenak kemudian menegapkan badannya. "Gue cuman pengin hibur dia. Keluarga dia lagi bermasalah, tapi respon dia terlalu nyakitin hati gue."

Tentang Adia [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang