41) Ujian Move-On

278 27 10
                                    

“Percaya atau tidak saat kalian akan mulai melupakan saat itu juga gangguan tentangnya gentayangan.”

🍁🍁🍁

Langit tersenyum ke arah Melly dan Nadia yang menatapnya. Langit sengaja datang ke kamar ibunya untuk mendiskusikan tawaran Erwin. Langit tidak mungkin mengambil keputusan sendiri, ini semua harus melibatkan ibu dan adiknya.

Langit mengambil posisi duduk di samping Nadia yang duduk di kursi plastik berwarna hijau. Kadang Langit sedih jika mengingat betapa jauhnya kehidupan keluarganya yang sekarang dan yang dulu. Jangankan kursi nyaman, rumah mewah pun dulu mereka mampu.

"Mereka udah pulang?" tanya Melly membuyarkan segala lamunan Langit.

Langit mengangguk. "Iya, Bu, tapi ada yang harus kita omongin."

"Soal permintaan maaf orang jahat itu? Iya, ‘kan?" tanya Melly sinis. Yakinlah Melly bukan orang seperti itu, Melly hanya begitu pada Erwin dan keluarganya saja.

"Bu," ucap Nadia sembari menggenggam tangan Melly, "sabar, ya? Ibu harus tenang. Nadia sedih lihat Ibu kayak gini."

Tatapan Melly menyayu. "Maafin Ibu, tapi enggak semudah itu buat Ibu bisa nerima hal ini, Nad. Ibu sayang banget sama ayah kamu."

"Kalau Ibu sayang dengerin dulu ya penjelasan aku? Mau, ‘kan? Ayah pasti bahagia kalau Ibu bisa perlahan damai, Bu. Ibu yang ayah kenal adalah Ibu yang pemaaf, ramah dan baik," bujuk Langit.

"Mau, ya, Bu?" Nadia ikut-ikutan membujuk.

Melly menghembuskan napasnya, kemudian mengangguk kontan hal itu membuat Nadia dan Langit tersenyum senang.

Langit mulai menjelaskan seperti apa yang dijelaskan Erwin, semuanya tanpa ada yang terlewat. Melly dan Nadia mendengarkan dengan baik, bahkan sesekali Melly mengusap air matanya, Melly merindukan mendiang suaminya.

"Enggak ada yang salah di sini, Bu. Semua murni kecelakaan aja, udah jadi takdir-Nya. Damai, ya, Bu? Kalau soal ganti rugi, Langit terserah Ibu aja. Langit sama Nadia bahagia selagi sama Ibu, kita enggak peduli mau tinggal di rumah kayak apa, kondisinya gimana, yang terpenting ada Ibu," ucap Langit mengakhiri penjelasannya.

"Iya, Bu. Bang Langit bener. Adanya Ibu di samping kita, itu udah lebih dari cukup," ucap Nadia membenarkan.

Melly menatap kedua anaknya dengan pandangan yang mengabur karena matanya yang sudah berkaca-kaca. Melly sadar jika selama ini kedua anaknya cukup menderita karena harus hidup sederhana dengannya, tetapi apa boleh nerima bantuan dari orang itu? Apa dia pantas?

"Ibu enggak usah jawab sekarang. Ibu bisa pikirin ini dulu, Bu. Jangan dipaksa, ya?"

Melly mengangguk paham. "Tinggalin Ibu sendiri, bisa?"

Langit dan Nadia kontan saling menatap sebelum akhirnya mengangguk kompak lalu keluar dari kamar meninggalkan Melly yang mulai terisak dalam diam.

"Mas aku harus gimana? Aku mau anak-anak aku bahagia, tapi apa bantuan itu pantas buat kita? Kamu selalu bilang sama aku, selagi kita mampu kita jangan minta bantuan orang lain. Aku bingung hiks .... aku rindu kamu juga, Mas. Kapan aku bisa susul kamu?"

***

Langit sampai ke sekolah pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya dia sampai pukul setengah tujuh, tetapi entah kenapa rasanya hari ini dia ingin segera sampai di sekolah belum lagi masalah ibunya, ibunya tidak mau bicara dengannya maupun Nadia, bahkan perihal sarapan pun Langit dan Nadia yang turun ke dapur.

Tentang Adia [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang